Konsep negara persemakmuran Hindia yang dikemukakan oleh Ratu Belanda, Wilhelmina, tak ayal membuat Van Mook selaku delegasi pemerintah Belanda berpikir keras untuk merealisasikan keinginan Ratu. Terlebih ketika sumber-sumber daya alam di Indonesia masih diminati oleh Belanda, dengan berbagai upayanya untuk menguasai kembali pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Berawal dari Perundingan Linggarjati, antara Indonesia dengan Belanda, pada November 1946. Semua kepentingan Belanda usai Perang Dunia II di Indonesia harus menjadi prioritas utama dalam melaksanakan kampanye kolonialisasi. Perundingan yang digelar dibuat hanya untuk mengulur waktu dalam mobilisasi pasukan Belanda yang mendarat di Indonesia.
Hingga pada saatnya, tanggal 15 Juli 1947, Van Mook justru memberi ultimatum kepada Indonesia agar menarik mundur pasukan Republik dari garis demarkasi yang sudah ditetapkan pada perundingan Linggarjati. Tetapi, apa lacur, jalan ninja para pejuang telah sampai pada sikap berjuang hingga titik darah penghabisan.
Disini kita tidak akan membahas bagaimana proses dan hasil Perundingan Linggarjati. Tetapi akan kita ulas bagaimana aksi dan reaksi dari para pemimpin dan pejuang dalam menghadapi Belanda.
Seperti kita ketahui, Perundingan Linggarjati, pada akhirnya justru dilanggar oleh Belanda sendiri, yang kemudian dengan segera melancarkan Operatie Product terhadap wilayah-wilayah Republik. Khususnya terhadap wilayah-wilayah yang memiliki potensi besar dalam sumber daya alamnya, seperti minyak bumi dan area pertambangan.
Walau tidak dipungkiri, area komoditi pangan juga menjadi sasaran Belanda dalam memutus suplay logistik bagi para pejuang. Maka, tepat pada tanggal 21 Juli 1947, aksi polisionil Belanda secara serempak dilancarkan. Aksi ini juga dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda I.
Auto terjadi pertempuran dimana-mana, antara militer Belanda dengan pejuang Republik. Khususnya di wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang menjadi target utamanya. Perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula dengan segera dapat dikuasai Belanda ketika itu. Nah, pada aksi polisionil inilah, nama Westerling kemudian muncul di medan pertempuran.
Seorang sosok yang terkenal karena peristiwa Sulawesi, dengan korban kurang lebih mencapai 40.000 jiwa.
Agresi Militer Belanda I ini secara militeristik memang mampu menempatkan Belanda sebagai pemenang. Tetapi tidak dalam konteks politik, karena pasca aksi polisionil ini, dunia internasional justru mengecam Belanda. Begitu juga dengan kegigihan para pejuang Republik yang tengah "baku hantam" dengan pasukan Belanda.
Maka wajar, eksistensi dari para pejuang dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah Indonesia, bahwa Republik masih sanggup berdiri dan mempertahankan kemerdekaannya. Melihat realitas ini, baik India dan Australia secara tegas menentang kebijakan Belanda. Ajuan mengenai kasus ini kemudian mencuat pada sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1 Agustus 1947.
Resolusi yang mengecam aksi polisionil Belanda dan mendukung upaya Indonesia untuk mencari solusi dalam penyelesaian konflik. Hasilnya adalah terbentuknya Komisi Tiga Negara (KTN), pada 26 Agustus 1947. KTN ini terdiri dari tiga negara yang bertugas untuk mencari jalan keluar mengatasi konflik Indonesia dengan Belanda; seperti Australia, Belgia, dan Amerika.
Dengan keluarnya keputusan PBB ini, maka operatie product oleh Belanda langsung berakhir.
Lantas bagaimana reaksi dari para pejuang Republik melihat hal ini?
Cara pandang para pejuang seketika berubah drastis dalam melihat upaya diplomasi Pemerintah kala itu. Perundingan Linggarjati dianggap sebagai bukti lemahnya Indonesia dalam urusan perundingan. Mereka (pejuang) lebih baik bertempur dengan prinsip merdeka atau mati. Tidak lebih dari upaya menjaga kedaulatan bangsa yang telah merdeka.
Maka wajar, dalam beberapa waktu kedepan, sikap diplomatif Pemerintah kerap tidak sinkron dengan para pejuang di lapangan. Seperti ungkap A.H. Nasution, dalam buku Diplomasi Sambil Bertempur. Walau semua bertujuan demi kedaulatan bangsa dan negara, berbagai upaya diplomasi sering disalahartikan oleh para pejuang, sebagai sikap menyerah Pemerintah terhadap Belanda.
Tidak ada jalan lain bagi para pejuang, selain dari kata bertempur dan bertempur.
Seperti yang dilakukan oleh Mr. Sutan Amin Nasution, yang memimpin pejuang di Pematang Siantar ataupun K.H. Zainul Arifin (Hizbullah) dan dr. Moewardi (Barisan Banteng) di Jawa, dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I. Selain dari unsur reguler TNI, seperti dibawah komando Jenderal Soedirman, Gatot Soebroto, A.H. Nasution, dan yang lainnya.
Dari peristiwa Bandung Lautan Api, hingga peristiwa Rawagede, sekiranya sudah jadi jawaban dari para pejuang, khususnya TNI. Dalam melihat sikap Belanda ketika berhadapan di medan pertempuran. Diplomasi dan etika perang, sudah tidak lagi ditaati, terlebih ketika relawan PMI banyak juga yang menjadi korban dari serangan Belanda.
Kota Salatiga adalah salah satu saksinya. TNI beserta laskar pejuang dan rakyat, tanggal 22 Juli 1947, melakukan aksi bumi hangus seperti di Bandung. Pendudukan Stasiun Tuntang di dekat kota Salatiga dianggap sudah menjadi pertanda, bahwa perlawanan bersenjata adalah jalan akhir demi kemerdekaan. Bagi TNI, kemerdekaan adalah harga mati dan dipertahankan.
Tetapi upaya diplomasi tetap saja dilakukan oleh Pemerintah, hingga kelak terjadi lagi aksi polisionil Belanda yang kedua, atau akrab dengan nama Agresi Militer Belanda II. Tentu saja dengan Jogjakarta sebagai target utama Belanda, dengan agenda penagkapan para pemimpin politik Indonesia. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H