Tanggal 15 Juli 1918, adalah tanggal kelahiran pejuang udara asal Surabaya, Iswahyudi. Beliau adalah salah seorang punggawa AURI (TNI Angkatan Udara) pada masa awal pembentukkannya. Bersama Adi Sutjipto, Abdurrachman Saleh, dan Husein Sastranegara, mereka sepakat untuk mendirikan sekolah kedirgantaraan nasional pertama.
Selama masa peralihan kekuasaan Jepang kepada Indonesia, Iswahyudi turut serta dalam berbagai insiden pertempuran di kota Surabaya. Bersama rekan seperjuangan lainnya, beliau turut terlibat dalam perebutan senjata di gudang-gudang senjata Jepang, sebelum dikuasai oleh Sekutu.
Tidak sekedar bertempur di darat, Iswahyudi juga sangat memperhatikan upaya membangun kekuatan udara Republik. Berbagai upaya beliau lakukan bersama rekan-rekannya untuk mendapatkan pesawat-pesawat peninggalan Jepang, atau bahkan Sekutu. Berbekal ilmu yang ditimbanya selama di Australia, sebagai pilot tempur, beliau tetap mengabdikan dirinya untuk kemerdekaan Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang, aktivitas bawah tanah yang dibangun tak jauh dari perihal pesawat tempur dengan berbagai jenis. Tak lain karena beliau sadar, kemungkinan untuk mendapatkan pesawat Jepang, lebih proporsional, daripada mencoba mendapatkan pesawat Belanda.
Ya, karena pada saat itu, Angkatan Udara Jepang superior di front Asia Pasifik. Berbagai persoalan dalam sistem pesawat terbang, beliau rangkum dalam berbagai catatan yang disimpannya. Menunggu saatnya tiba, untuk mengambil alih kekuatan udara, ke tangan pejuang Republik.
Pikirnya hanya satu, mempelajari seluruh pesawat, baik pesawat Jepang atau Sekutu. Jika kelak ia mendapatkan diantara salah satunya, maka tentu akan mudah mengoperasikannya. Begitu juga rekan-rekan perintis udara Republik lainnya. Terlebih soal komponen dan sistem radar/radio, yang sangat berguna kelak dikemudian hari.
Setelah masa kemerdekaan, Iswahyudi langsung terlibat pada pendirian AURI, dimana kemudian beliau terdaftar sebagai wakil komandemen AURI untuk wilayah Sumatera. Beliau bermarkas di Lapangan Udara Gadut, Bukittinggi. Berbekal pesawat-pesawat tua peninggalan Jepang yang rata-rata telah rusak dan berukuran kecil.
Hingga akhirnya beliau mendapatkan pesawat angkut bertipe Avro Anson, keluaran Inggris. Dari sinilah, petualangan mencari bala bantuan dari luar negeri mulai menjadi agendanya. Fyi, pesawat Avro Anson ini didapat dari hasil penggalangan dana Pemerintah bersama masyarakat di Sumatera Barat.
Pesawat ini didapatkan dengan cara dibeli dari Paul H. Keegan, seorang mantan pilot RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris), dan memiliki nomor register RI-003. Dengan cara didatangkan sendiri oleh pilot RAF ke landasan udara Republik di Bukittinggi.
Pada bulan Desember 1947, beliau bersama Halim Perdanakusumah, menerbangkan pesawat ini untuk mengambil bantuan di Siam, kini Thailand. Bantuan persenjataan yang dimuat dalam pesawat ditujukan untuk membantu perjuangan Republik dalam menghadapi Belanda yang hendak menguasai kembali Indonesia.
Tetapi, dalam perjalanan pulang, pesawat yang dikemudikannya mengalami kerusakan dan jatuh di sekitar Malaysia. Ada dua versi yang menjelaskan kronologis peristiwa ini; pertama adalah pesawat ditembak jatuh oleh pesawat tempur Belanda, dan kedua adalah pesawat mengalami kerusakan mesin yang membuatnya gagal terbang.
Jatuhnya pesawat angkut tersebut, membuat Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma gugur dalam tugas. Tidak lain hanya demi tanah airnya, Indonesia. Dimana nama kedua tokoh pelopor TNI Angkatan Udara tersebut, diabadikan sebagai nama landasan udara. Komodor Udara Iswahyudi dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma lantas ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Bersama rekan-rekan seperjuangan udara lainnya, perjuangan Komodor Udara Iswahyudi tentu sangatlah penting untuk selalu dikenang hingga masa kini dan masa yang akan datang. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H