Kembali kepada persoalan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konstituante yang terbentuk usai pemilu justru membuat suasana politik semakin penuh dengan nuansa konflik kepentingan.Â
Terhitung ada 10 kali pergantian kabinet terjadi sejak Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberalnya. Yakni sejak akhir tahun 1949 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen pada tahun 1959.
Prosesi pemilu di tahun 1955, sebenarnya hanya "ajang" unjuk kekuatan antar kelompok dengan membawa ideologinya masing-masing. Selebihnya, TNI sebagai simbol kekuatan negara, hanya berperan sebagai "penonton" kisruhnya parlemen.Â
Terlebih ketika A.H. Nasution pernah berupaya membubarkan kabinet pada 17 Oktober 1952. Dimana hal ini membuat hubungannya dengan Soekarno menjadi renggang.
Tetapi, kemudian karena Nasutionlah justru Soekarno mengeluarkan Dekrit Presidennya. Polemik antar golongan di parlemen akhirnya menyebabkan kegagalan perumusan Undang-Undang Sementara 1950 kepada Undang-Undang Dasar 1945.Â
Hal ini yang menjadi faktor utama Soekarno selaku Presiden, memutuskan untuk mengambil alih kebijakan politik.
Sebagai realisasi, parlemen kemudian mengadakan pemungutan suaranya untuk menentukan sikap dan arah politik negara.Â
Dimana dalam setiap pengajuan Dekrit (tanggal 1 dan 2 Juli 1959) faktanya para anggota konstituante tidak pernah hadir untuk memenuhi quorum. Hal ini dianggap A.H. Nasution sebagai pertanda buruk bagi masa depan bangsa.
Sudah jelas, karena faktor kepentingan kelompok, parlemen justru mengabaikan harapan masyarakat demi perbaikan bangsa.Â
Respon positif justru datang dari Angkatan Bersenjata, melalui memonya, A.H. Nasution segera mengeluarkan aturan pelarangan kegiatan politik terhadap setiap partai. Siapapun yang melanggar, akan dikenai sanksi tegas dari militer.
Pada momen inilah, hubungan Soekarno dengan A.H. Nasution mulai kembali harmonis. Dukungan penuh terhadap Presiden untuk membubarkan konstituante berbuah manis. Hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, dengan isi: