Dokumentasi di atas adalah simbolisme dari empat golongan besar kala itu (1960). Paling kiri adalah Mr. Ali Sastroamidjojo (nasionalis), baris kedua adalah A.H. Nasution (TNI), ketiga adalah K.H. Idham Chalid (agama), dan D.N. Aidit sebagai (komunis).Â
Jadi bukan hanya tiga golongan, melainkan empat, yakni eksistensi Angkatan Bersenjata sebagai salah satu poros politik yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Hadirnya Angkatan Bersenjata dalam panggung politik Indonesia memang telah terjadi sejak Belanda secara resmi hengkang dari Indonesia, sekitar akhir tahun 1949.Â
Dominasi kekuatan bersenjata kerap menjadi penentu dalam menghadapi segala gejolak yang ada di berbagai daerah.
Tidak ada pergolakan yang berakhir dengan "damai", paling jauh hanya upaya rekonsiliasi antara pemerintah pusat dengan daerah.Â
Sisanya, dibabat habis dengan melalui pendekatan militer. Hal inilah yang membuat pamor Angkatan Bersenjata naik dipermukaan publik kala itu.
Berbeda dengan dukungan publik terhadap golongan komunis, yang rata-rata didasari atas ketidakpahaman dengan pola dukung skeptis dan oportunistik.Â
Mereka berangkat dari harapan semu yang dikendalikan hanya demi kekuatan politis. Tidak lebih dari perjuangan kelas yang rata-rata direalisasikan dengan pendekatan konflik.
Namun yang secara konsisten bergerak secara masif adalah dari golongan agama. Mereka lebih mendasar dalam aspek religiusitas massa.Â
Seperti kita ketahui, mayoritas massa berbasis agama menjadi salah satu kekuatan besar kontestator politik di tahun 1955. Hal inilah yang secara faktual dianggap sebagai penyeimbang dari gerakan komunisme di Indonesia kala itu.