Pertengahan Abad ke 16 wilayah Asia Tenggara tengah jadi perebutan negara-negara Eropa. Sebutlah Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Mereka mulai mencari wilayah yang mudah ditaklukkan guna mendapatkan rempah-rempah. Kala itu, rempah-rempah merupakan komoditi utama bangsa Eropa.
Kerajaan Kalinyamat saat itu berada di wilayah Jepara. Dahulu Jepara masih terpisah dengan Jawa Tengah. Selat Murialah yang menjadi garis demarkasi antara Kerajaan Kalinyamat dengan Kesultanan Demak. Selat ini terbentang dari wilayah barat Demak hingga daerah Juwana.
Wajar bila Demak dapat dikatakan sebagai Kesultanan Maritim yang menguasai perdagangan di Laut Jawa. Sedangkan eksistensi Kerajaan Kalinyamat sendiri dapat dikatakan sebagai penyeimbang antara dua kerajaan yang terpisah pada sisi utara dan selatan.
Pelabuhan Demak dan Pelabuhan Kalinyamat dalam aspek ekonomi dapat dikatakan sama-sama berkembang. Hanya saja ketika kedamaian itu berakhir akibat upaya Aryo Penangsang merebut takhta Kesultanan Demak sepeninggal Sultan Trenggana, dengan jalan membunuh Sunan Prawoto.
Sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri adalah bibi dari Sunan Prawoto. Nah, konflik politik inilah yang membuat Ratu Kalinyamat menuntut balas kepada Aryo Penangsang. Jadi, dapat dikemukakan bahwa sang Ratu ini menghadapi dua persoalan sekaligus. Penjajah Portugis dan persoalan internal Kerajaan.
Ritual Tapa Wudo Simbol Kekuatan Jiwa
Suatu waktu Ratu Kalinyamat bersama suaminya Pangeran Hadirin datang ke Demak untuk meminta pertanggungjawaban atas meninggalnya Suna Prawoto. Bersama para pengawalnya, ia disergap oleh pasukan Aryo Penangsang, yang tidak suka atas kehadirannya ke wilayah kekuasaannya.
Pangeran Hadirin terbunuh dalam suatu pertempuran, sedangkan Ratu Kalinyamat berhasil mundur ke wilayah Kerajaannya. Karena kematian suaminya tersebut, Sang Ratu memutuskan untuk melakukan ritual Tapa Wudo. Sebuah laku spiritual yang saat ini menimbulkan polemik dalam sejarah Kalinyamat.
Dalam pengertian Jawa, Tapa Wudo dapat dikatakan sebagai ritual tanpa busana. Walau kalangan peneliti menyebutkan Tapa Wudo lebih mengarah pada ritual menanggalkan jabatan selama sang pelaku mensucikan diri. Jadi tidak sesuai dengan perspektif Jawa ritual ini dilakukan.
Simbolisme jabatan Sang Ratu ditanggalkan guna mendapatkan kekuatan yang besar untuk dirinya. Kekuatan tersebut dapat dijelaskan sebagai upaya melakukan penghimpunan pasukan dari kalangan rakyat tanpa memandang status sosial Kalinyamat.
Sumpah untuk meminum darah dari Aryo Penangsang membuat dirinya semakin disegani kawan ataupun lawan. Semua semakin bergidik tatkala berhadapan dengannya di medan laga. Selain dari kewibawaannya dipanggung politik masyarakat Jawa kala itu. Namanya semakin terkenal akibat keberaniannya menentang penjajah.