Tangan kanan memegang segelas kopi dan tangan kiri memegang koran lama dengan bahasan Piala Dunia. Sambil sesekali menyeruput kopi yang masih panas, teman saya bercerita masih tidak habis pikir dengan kegagalan timnas Jerman di Piala Dunia 2018.Â
Bagaimana mungkin tim panser yang dikenal spesialis turnamen dan punya skuad kelas wahid plus juara bertahan bisa hancur lebur di Rusia. Padahal dalam uji coba sebelum Piala Dunia di mulai, Jerman masih tangguh dan tidak tampak tanda-tanda mereka bakalan rapuh di pentas sebenarnya.
Obrolan sore itu berlanjut mengomentari Perancis yang akhirnya jadi juara Piala Dunia 2018. Saya yang kebetulan mendukung Perancis di Piala Dunia lalu tentu bersemangat membahasnya diikuti dengan senyum masam teman saya yang agaknya masih kesal karena jagoannya gagal di penyisihan grup.
Meskipun beda dukungan di Piala Dunia, saya dan teman saya sepakat bahwa Perancis yang dipenuhi talenta muda berbakat yang sedang dalam masa keemasan memang sangat layak menjadi jawara.
Sedikit tertatih di fase grup C, mendapat perlawanan ketat dari Australia (Perancis hanya menang 2-1), Peru (1-0), dan ditahan imbang 0-0 oleh Denmark, Perancis bangkit di fase gugur dengan berturut-turut memulangkan Argentina (4-3), Uruguay (2-0), dan Belgia (1-0) sebelum menekuk Kroasia (4-2) di final.
Bintang-bintang baru Perancis pun memperlihatkan sinarnya seperti Kylian Mbappe yang menjadi remaja kedua yang mencetak gol di final Piala Dunia (setelah Pele), dan Benjamin Pavard, yang menjadi pencetak gol terbaik di Piala Dunia tersebut. Generasi baru ini ditunjang dengan pemain-pemain matang nan berpengalaman dalam diri Lloris, Griezmann, Pogba, Giroud dan lain-lain berhasil mempersembahkan bintang kedua untuk timnas Perancis.
Pembicaraan pun makin menarik ketika kami membicarakan perjalanan timnas-timnas top dalam sejarah sepakbola dunia. Tentu saja dalam konteks ini Brazil adalah nama pertama yang kami bahas mengingat timnas samba merupakan tim yang paling sering memenangi Piala Dunia. Lagi-lagi Perancis jadi bahan pembicaraan yang menarik. Tidak hanya tentang kiprah mereka di Piala Dunia, namun juga bagaimana sumbangsih mereka sepanjang sejarah sepakbola modern.
Brazil adalah negara tersukses di Piala Dunia. Inggris adalah rumah sepakbola modern karena segala aturan sepakbola masa sekarang muncul dan matang di Inggris tahun 1860-an. Faktanya, FA sebagai asosiasi pesepakbolaan Inggris merupakan federasi sepakbola tertua di dunia yang sudah berdiri sejak 1863. Sementara Italia adalah tim pertama yang menjuarai Piala Dunia secara back to back tahun 1934 dan 1938.
Lalu dimanakah posisi Perancis dalam sejarah sepakbola dunia? Satu hal yang bisa saya simpulkan terkait Perancis dan sepakbola: Perancis adalah pioneer  kompetisi-kompetisi bergengsi sepakbola dunia.
Faktanya, Perancis adalah penggagas Piala Dunia. Bukan, bukan timnasnya. Yang dimaksud disini adalah seorang Perancis, anak pedagang yang merubah wajah kompetisi sepakbola terbesar di dunia selamanya. Ya, Jules Rimet, presiden pertama FFF (PSSI-nya Perancis) dan presiden ketiga FIFA (1921-1954) adalah pencetus Piala Dunia. Sebelum munculnya Piala Dunia, Olimpiade dianggap sebagai kompetisi sepakbola internasional terbesar di dunia terutama sejak kesuksesan Uruguay di Olimpiade 1924 dan 1928.
Jules Rimet yang ingin agar sepakbola memiliki kompetisi sendiri berusaha melobi negara-negara anggota FIFA untuk mau mengikuti turnamen yang dirancang oleh Rimet. Dengan kerja keras dan meski diwarnai berbagai permasalahan, turnamen yang di rencanakan pun berhasil diwujudkan tahun 1930 dan menjadi kompetisi olahraga terbesar di dunia setelah Olimpiade.
Peran Perancis dalam sepakbola dunia juga terlihat dalam diri Henri Delaunay sebagai pencetus Piala Eropa. Perjuangan Delaunay untuk mengadakan kompetisi antar negara se-Eropa bahkan sudah dimulai sejak tahun 1927 ketika ia menawarkan proposal untuk mengadakan turnamen tersebut ke negara-negara Eropa. Ia yang berstatus Sekjen pertama UEFA kembali menginisiasi ide turnamen antar negara Eropa tersebut pada tahun 1954.
Kompetisi terbesar di Eropa tersebut akhirnya di gol-kan oleh UEFA tahun 1960 dengan menunjuk Perancis sebagai tuan rumah pertama. Sayang, Delaunay tidak sempat menyaksikan hasil kerja kerasnya karena ia meninggal 9 November 1955. Untuk menghormati jasanya, trofi Piala Eropa (EURO) pun diberi nama Henri Delaunay Trophy.
Individu Perancis nan brilian dan kreatif juga melahirkan kompetisi antarklub terelit benua biru, UEFA Champions League. Adalah Gabriel Hanot (wartawan France Football) bersama rekannya, Â Jacques Ferran (L'Equipe), yang menggagas turnamen yang awalnya bernama European Cup tersebut pada tahun 1955.Â
Khusus Gabriel Hanot, ia juga adalah orang yang menggagas penghargaan pemain terbaik saat itu melalui Ballon D'Or tahun 1956. Penghargaan bola emas ini bahkan sampai sekarang menjadi penghargaan individu paling prestisius di jagad sepakbola karena melambangkan pemain terbaik dunia.
Jika secara individu Perancis adalah pelopor berbagai kompetisi dan penghargaan bergengsi di sepakbola, secara tim Perancis juga luar biasa. Sepanjang sejarah, selain dua bintang perlambang juara dunia yang sekarang melekat di dada punggawa Les Bleus, armada yang dikapteni Hugo Lloris ini juga telah mengoleksi dua gelar piala Eropa.
Selain itu, Perancis juga di kenal sebagai salah satu pabriknya pemain-pemain bintang lima. Raymond Kopa dan Just Fontaine di era akhir 50-an dan awal 60-an, Jean Tigana dan Michel Platini di era 80-an, Zinedine Zidane, Eric Cantona, dan Didier Deschamps di era 90-an, Thierry Henry, Trezeguet dan Ribery di era 2000-an hingga angkatan Griezmann, Pogba dan Mbappe yang sukses mengangkat trofi Piala Dunia 2018.
Jika dilihat secara menyeluruh, peran Perancis dalam sepakbola modern memang tak terbantahkan lagi. Kontribusi individu dan prestasi sepakbola mereka menunjukkan bagaimana sebenarnya gairah dan rasa antusias masyarakat Perancis terhadap si kulit bundar. Gairah mereka terbangun dengan seimbang antara pikiran dan tindakan.Â
Pikiran tentang sepakbola terlihat dari bagaimana mereka berpikir maju untuk menciptakan berbagai kompetisi yang menarik dan membuat image tersendiri tentang sepakbola.Â
Sampai sekarang kompetisi-kompetisi karya The French Man menjadi kompetisi-kompetisi top dan bergengsi serta menguntungkan tentunya dari aspek bisnis. Dari tindakan, usaha keras mereka telah menghasilkan berbagai prestasi ditingkat Eropa dan dunia serta ditandai dengan lahirnya bintang-bintang sepakbola kelas dunia dari masa ke masa.
Melihat gairah dan antusiasme masyarakat Perancis mengingatkan saya dan teman tentang gairah dan antusiasme yang sama, bahkan lebih di negara tercinta ini.Â
Silih berganti pemain top berkunjung ke Indonesia --sekadar liburan atau kegiatan sponsor- melihat gairah yang sama dan potensi besar yang ada dalam sepakbola Indonesia.Â
Sayang, gairah dan antusiasme yang ada tak kunjung diimbangi dengan prestasi. Sepakbola kita justru lebih identik dengan sensasi, carut marut kompetisi hingga kurang profesionalnya pengurus federasi mengakibatkan timnas minim prestasi.
Tak terasa tetesan terakhir kopi yang kami nikmati beriringan dengan waktu yang sudah menjelang senja. Pembicaraan ditutup dengan harapan timnas kita bisa menyeimbangkan dan memanfaatkan gairah seluruh pencinta sepakbola Indonesia agar mendapatkan prestasi, terutama di Piala AFF, turnamen dimana sampai saat ini kita masih belum pernah mencicipinya meskipun Indonesia adalah pioneer kompetisi sepakbola terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H