Dokter Amrin, SpoG, dibantu perawat Susi, melakukan prosedur transfer embrio ke seorang pasien perempuan. Wajah si dokter terlihat santai layaknya orang sedang memotong kuku, berbeda dengan wajah pasien yang tegang.
"Ambilkan kateter," Amrin memerintahkan Susi. Susi tak bergeming. Ia terlihat termenung. Amrin melirik ke Susi lalu tersenyum. "Susi!" kali ini suara Amrin agak meninggi.
Susi setengah tersentak. Ia lalu mengambil gunting sesuai permintaan Amrin. Amrin memakluminya. Sejak bayinya didiagnosa mengidap keterbelakangan mental, Susi memang sering termenung.
Amrin lalu mengambil sebuah tabung kecil berisi cairan. Ia membaca tulisan yang tertera pada label putih yang melekat pada tabung itu. "Ibu Saras ya?"
Pasien yang bernama Saras mengangguk.
Dokter Amrin lalu menyedot cairan itu, lalu memasukkannya ke rahim ibu Saras menggunakan kateter. Hanya lima menit, proses transfer embrio-pun selesai.
"Sudah beres, bu. Sebentar saja kan? Dua embrio. Kalau keduanya berhasil jadi janin ibu bisa punya anak kembar," ujar Amrin sembari menggeser monitor USG ke arah pandang pasien. "Itu lihat, embrionya berdekatan. Mereka akan berteman disitu," Amrin berseloroh.
"Peluang berhasilnya kira-kira bagaimana, dok?" tanya si pasien perempuan berusia sekitar 35 tahun.
"Ora et labora, bu. Berdoa dan berusaha. Usahanya sudah. Tinggal berdoa," jawab Amrin diplomatis.
Dokter Amrin baru saja melakukan tahapan terakhir dari proses In Vitro Fertilization yang orang lebih mengenalnya dengan istilah bayi tabung. Embrio yang dimasukkan adalah hasil penggabungan sperma dan ovum yang dibiakkan selama tiga hari di dalam sebuah wadah tabung sebesar telunjuk. Karena itu disebut bayi tabung. Setelah sperma dan ovum dievaluasi pada hari keempat dan dinyatakan sebagai embrio yang sehat, embrio akan dikeluarkan dari tabung lalu dimasukkan ke rahim untuk dibiarkan berbiak selama 9 bulan selayaknya orang hamil normal.
Dokter Amrin sedang hendak melepas sarung tangan karetnya ketika pintu ruang tindakan tiba-tiba terbuka. Seorang perawat masuk dengan wajah agak tegang.
"Dok, ada orang marah-marah di lobi sana," ucapnya, "Ia mencari dokter!" Dokter Amrin bergegas ke lobi. Tidak lama ia melihat seorang bapak mengacung-ngacungkan selembar kertas mengarah ke dokter Amrin. Saat wajah Amrin muncul di balik pintu, laki-laki itu segera mendekat ke dirinya. Laki-laki itu seperti sudah sangat mengenal wajah dokter Amrin yang terkenal itu.
"Dokter, saya Fauzan. Aisyah istri saya adalah pasien Anda. Dokter harus lihat ini."
Laki-laki yang bernama Fauzan mempelihatkan secarik kertas kepada dokter Amrin.
***
Setelah bertemu dokter Amrin, Fauzan menginap di hotel di dekat klinik yang baru ia kunjungi. Malam ini ia duduk di balkon menikmati angin lantai dua yang sejuk. Ia menyalakan sebatang rokok. Sudah lama ia tak merokok. Pikirannya gamang. Ia lalu mengenang peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu, ketika Aisyah, istrinya, menjalani proses transfer embrio yang sama seperti yang dilakukan dokter Amrin hari ini. Setelah proses tersebut selesai dilaksanakan, istrinya akan melewati masa observasi paska tindakan. Ia hanya diwajibkan berbaring selama 3 jam sebelum dibolehkan pulang. Ada satu pasien lain yang menjalani proses itu di waktu yang sama. Mereka dibaringkan pada ruang yang sama.
"Saya Fauzan, pak. Saya asli Aceh. Bapak dari mana?" Fauzan beramah-tamah dengan suami pasien disampingnya.
"Oh, saya Ucok Sidabutar. Kami dari Samosir," jawab Ucok. Ia terlihat terus menggenggam lengan istrinya sembari memijat-mijat lengan itu perlahan.
Dokter Amrin adalah dokter hebat di Jakarta. Sehingga pasiennya datang dari seluruh penjuru Indonesia.
"Lancar kan tadi pak Ucok?"
"Puji Tuhan Yesus, kata dokter lancar. Kita berdoa saja pak Fauzan. Ini usaha kita sama-sama."
"Insya Allah," jawab Fauzan.
***
Aisyah sebenarnya sudah curiga sejak beberapa tahun yang lalu ketika ia melihat anaknya, Nadifa, tidak mirip dirinya. Nadifa juga tak mirip ayahnya, Fauzan. Aisyah dan Fauzan berayah dan ibu Aceh tulen, mereka berdua berwajah Aceh identik yang berhidung agak mancung, kulit hitam manis, mirip orang Gujarat. Memang, kakek dari Fauzan dulu beristrikan orang Jawa. Namun wajah Nadifa tetap berbeda. Sepupunya bilang wajah Nadifa tak cocok bernama Nadifa.
"Ah, tapi kan ada anak yang mirip neneknya, kan gen yang terbawa ke bayi tidak mesti dari orang tuanya," jawab beberapa orang menghibur waktu itu. Tapi sebenarnya Nadifa juga tak mirip neneknya. Ia tidak mirip siapapun di pohon keluarga intinya.
Aisyah dan Fauzan tentu sangat menyayangi Nadifa. Ia tumbuh dan kembang menjadi gadis lincah dan cerdas. Kasih sayang mereka tentu saja melebihi anak lainnya karena ia anak perempuan tunggal dan mendapatkannya sungguh sulit dan 'mahal'. Nadifa juga bukan anak yang rewel. Ia relatif patuh pada instruksi ayah dan ibunya sejak ia balita. Ia seperti mengerti jerih orang tuanya mendapatkan dirinya.
Ketika Nadifa akan tamat SD, baru kemudian, ada pemeriksaan golongan darah dilakukan dalam sebuah program dari Dinas Kesehatan, yang hal itu membongkar semuanya. Nadifa bergolongan darah A. Sementara selama ini diketahui Fauzan dan Aisyah bergolongan darah O. Mendapati hal itu, Fauzan sampai melakukan pemeriksaan ulang. Hasil tetap sama. Hal ini yang menjadi alasan Fauzan bertemu dokter Amrin. Ia meminta penjelasan dan sekaligus pertanggungjawaban dokter itu bila terbukti ada sebuah kelalaian. Kemungkinan tertukarnya tabung penyimpan embrio di klinik tersebut.
***
Aaron Sidabutar, anak pak Ucok Sidabutar, sejak kecil sudah terlihat meminati sejarah. Ia kerap ikut ayahnya yang memandu turis yang berkunjung ke situs sejarah di makam Raja Sidabutar di Tomok, Samosir. Ia sudah mampu menjelaskan secara detil sejarah nenek moyangnya. Bila sudah cukup umur nanti, sudah masuk usia legal untuk bekerja, ia berencana akan meneruskan profesi ayahnya.
Hari ini Aaron, ayahnya dan Berna, ibunya, menanti tamu penting. Adalah Fauzan, Aisyah dan Nadifa yang akan tiba siang ini. Ucok sudah dikabari tentang perihal 'kasus salah embrio' yang dialami Aisyah. Menurut pengecekan mendalam, kemungkinan bertukar dengan tabung embrio istrinya, Berna. Mereka hendak berembuk langkah apa yang akan dilakukan, termasuk kemungkinan menempuh langkah hukum.
***
"Saya sudah bertemu dokter Amrin. Walaupun staf dan perawatnya berupaya berkelit dan mengatakan tidak ada kekeliruan, pada akhirnya beliau mengakui ini adalah sebuah kesalahan besar. Beliau bersedia bertanggungjawab. Beliau tidak mengetahui bagaimana embrio itu bisa salah rahim karena ia mengatakan prosedur di kliniknya selalu ketat. Label nama yang melekat pada tabung bahkan menggunakan barcode dan SOP-nya dievaluasi Kemenkes. Agak sulit untuk ditelusuri dimana letak kesalahannya karena kejadiannya sudah lama dan perawat-perawat beliau ada yang sudah tidak bekerja lagi," jelas Fauzan menceritakan pengalamannya marah-marah di lobi klinik dokter Amrin kepada keluarga Ucok.
"Lalu kita harus bagaimana? Apakah kita harus menukar anak kita lagi?" tanya Ucok. Namun ia tahu itu pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Menukar kembali anak yang sudah mereka besarkan dengan kasih sayang dengan cara mereka --walaupun mereka tahu itu bukan anak mereka secara biologis-- itu akan sangat sulit diterima. Memikirkannya pun jauh dari kata sanggup.
"Ini memang sangat rumit pak Ucok," jawab Fauzan singkat. Lalu mereka terdiam. Pertemuan pertama itu diakhiri tanpa resolusi apa-apa.
***
Di penginapan. Dilingkupi suasana sejuk malam di dataran tinggi Samosir, Aisyah meriung ke kursi panjang dimana Fauzan sedang duduk menikmati teh hangat. Wajahnya memandang ke kerlap-kerlip lampu bangunan di seberang danau. Parapat.
"Aku sempat berpikir, bang. Jika kita memilih tetap bersama Nadifa, nanti saat ia menikah, secara agama yang siapa yang menikahkan? Tentu bukan kamu, bang. Juga bukan pak Ucok itu karena ia non-muslim," Aisyah membuka pembicaraan. "Terus bagaimana soal agamanya si Nadifa?"
"Aku sudah konsultasi itu ke ustadz Mahfud, ia sendiri tidak berani menjawab. Takut salah. Ia bilang seumur hidup belum ada pertanyaan serumit ini," jawab Fauzan. "Ada janin. Dari organ kita. Spermaku, sel telurmu. Tapi 9 bulan berbiak di rahim orang, berbagi makanan, menjadi bagian darah dan daging orang itu. Lalu benarnya dia itu anak siapa? Terus agamanya apa? Ikut agama ibu rahim biologisnya, atau agama dari keluarga yang telah mengajarkan ilmu agama lain selama hidupnya?" Fauzan mulai meneguk tehnya lagi. Ada perasaan bingung tersusup pada setiap tegukan teh itu.
"Agama yang kita anut sebenarnya mutlak karena turun dari orang tua sehingga kita harus mengikutinya atau kalau sudah begini kejadiannya agama boleh dipilih-pilih, bang?"
"Ustadz Mahfud saja bingung, apalagi abang?"
"Kenapa ya kita diberi masalah sebesar ini," tutup Aisyah.
***
Nadifa dan Aaron duduk di sebuah kursi menjelang siang. Ini adalah hari ketiga keluarga Fauzan di Samosir. Aaron dan Nadifa diminta menyingkir sejenak sembari kedua pasang orang tua mereka berembuk delapan mata. Aaron lalu mengajak Nadifa melihat sarkofagus, makam batu yang jadi objek wisata sejarah di sana. Letaknya cukup dekat dengan lokasi penginapan keluarga Fauzan.
"Dulu, disini, orang yang meninggal tidak dikubur. Tapi dibaringkan di dalam makam batu seperti ini. Biasanya pula, si empunya makam, sebelum meninggal, akan meminta tukang batu memahatkan wajah orang paling dekat dengan dirinya pada makamnya. Biasanya orang itu anggota keluarganya. Anak, istri atau ayahnya, atau siapapun yang dicintainya," cerita Aaron.
Nadifa manggut-manggut mendengar cerita Aaron. Belum selesai Aaron berkisah, ia melihat kedua orang tua mereka dari kejauhan. Mereka mendekat. Wajah mereka tidak tersenyum sama sekali. Nadifa mendapat firasat tak enak. Sebagai remaja, sebelumnya Nadifa sejauh ini tidak terlampau menunjukkan. Rasa gelisahnya mulai muncul sejak ia bertemu orang tua biologisnya di Samosir. Ia mulai berpikir soal kemungkinan bertukar anak. Dalam perspektifnya, itu berarti bertukar orang tua. Ia bertanya-tanya bagaimana ia akan hidup dengan keluarga pak Ucok dan bu Berna. Mengganti peran ayah Fauzan dan ibu Aisyah yang merawatnya dari bayi. Lalu nanti akan ada wajah asing yang akan ia lihat ketika bangun tidur dan hendak tidur lagi. Lalu bagaimana cara mereka akan merawatnya dan mendidiknya. Apakah mereka kejam? Nadifa langsung mengingat serial ibu tiri di televisi. Bagaimana jika nanti ia terlambat bangun pagi pada hari minggu, apakah ia akan disiram air karena tidak pergi ke gereja? Lalu bagaimana jika ia mandi berjam-jam di kamar mandi seperti kebiasaannya, apakah ia akan diminta membayar tagihan air bulan depan?
"Aaron, Nadifa, ayo duduk disini," ucapan Fauzan membuyarkan pikiran Nadifa.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H