"Dulu, disini, orang yang meninggal tidak dikubur. Tapi dibaringkan di dalam makam batu seperti ini. Biasanya pula, si empunya makam, sebelum meninggal, akan meminta tukang batu memahatkan wajah orang paling dekat dengan dirinya pada makamnya. Biasanya orang itu anggota keluarganya. Anak, istri atau ayahnya, atau siapapun yang dicintainya," cerita Aaron.
Nadifa manggut-manggut mendengar cerita Aaron. Belum selesai Aaron berkisah, ia melihat kedua orang tua mereka dari kejauhan. Mereka mendekat. Wajah mereka tidak tersenyum sama sekali. Nadifa mendapat firasat tak enak. Sebagai remaja, sebelumnya Nadifa sejauh ini tidak terlampau menunjukkan. Rasa gelisahnya mulai muncul sejak ia bertemu orang tua biologisnya di Samosir. Ia mulai berpikir soal kemungkinan bertukar anak. Dalam perspektifnya, itu berarti bertukar orang tua. Ia bertanya-tanya bagaimana ia akan hidup dengan keluarga pak Ucok dan bu Berna. Mengganti peran ayah Fauzan dan ibu Aisyah yang merawatnya dari bayi. Lalu nanti akan ada wajah asing yang akan ia lihat ketika bangun tidur dan hendak tidur lagi. Lalu bagaimana cara mereka akan merawatnya dan mendidiknya. Apakah mereka kejam? Nadifa langsung mengingat serial ibu tiri di televisi. Bagaimana jika nanti ia terlambat bangun pagi pada hari minggu, apakah ia akan disiram air karena tidak pergi ke gereja? Lalu bagaimana jika ia mandi berjam-jam di kamar mandi seperti kebiasaannya, apakah ia akan diminta membayar tagihan air bulan depan?
"Aaron, Nadifa, ayo duduk disini," ucapan Fauzan membuyarkan pikiran Nadifa.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H