Aceh dapat kado spesial tahun baru ini. BPS menyebut bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara turun 17 persen pada tahun 2018. Ini begitu menyentuh seperti mendengarkan lagu Gelas-gelas Kacanya Nia Daniati. Betapa tidak. Karena, seharusnya, dengan semakin meningkatnya jumlah manusia, jumlah konsumsi terhadap sesuatu, akan cenderung meningkat dengan sendirinya. Konsumsi di bidang pariwisata termasuk salah satunya.
Mencatat statistik kedatangan luar negeri dianggap BPS sebagai cara paling ideal dalam mengukur jumlah kunjungan wisatawan. Ini masuk akal. Dikarenakan jumlah kunjungan pelancong domestik sulit untuk diukur. Bisa saja kedatangan mereka di Aceh didominasi dalam rangka tugas kerja atau mengunjungi relasi. Saya merasa yakin, jika wisatawan mancanegara menurun, maka statistik turis domestik akan mengalami hal serupa. Melihat angka penurunan ini, tentu bikin miris. Wisatawan Malaysia misalnya, termasuk golongan wisatawan mancanegara dan menjadi ceruk utama target wisman kita. Bila kita melihat giatnya kunjungan wisatawan serumpun ini yang sampai “memaksa” Air Asia menambah jadwal penerbangan ke Banda Aceh hingga 3 kali dalam sehari, seharusnya total wisatawan mancanegara dapat terkerek naik. Ini kok malah sebaliknya.
Penobatan World's Best Airport for Halal Travellers bagi bandara Sultan Iskandar Muda atau masuk dalam beberapa nominasi Best Halal Tourism --sebagaimana sudah saya duga-- tak akan mampu meningkatkan tingkat kunjungan. Penghargaan itu akhirnya hanya sebatas untuk keren-kerenan saja. Tidak mendongkrak angka. Karena, yaaaah, cara memperolehnya pun dari voting. Subjektif. Pada akhirnya, key performance indicator (KPI) adalah acuan seharusnya dari stakeholder Aceh membangun pariwisata. KPI yang dimaksud disini adalah angka.
Siapa yang patut disalahkan soal ini? Bisa ditebak semua telunjuk akan mengarah pada Disbupdar Aceh. Tidak salah memang. Tapi harus diingat, Disbudpar bukan satu-satunya instansi yang patut dikambinghitamkan. Pemerintah Aceh, Pemko/pemkab yang wilayahnya dikunjungi, BPKS (khusus Sabang), hingga Dishub, punya andil terhadap kegagalan ini. Ini menurut pandangan saya.
Pertama, kita mulai dengan Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh, --setidaknya-- sepeninggal Irwandi, sepertinya tak begitu visioner soal pariwisata. Tidak terlihat adanya niat untuk membranding Aceh secara nyata. Mereka tak memiliki determinasi dalam mempertahankan beberapa even internasional yang nyata-nyata efektif guna “memperlihatkan” Aceh yang sebenarnya, yang akhirnya berpeluang menghidupkan mata rantai promosi wisata kita. Lihatlah, bagaimana Sabang International Marathon akhirnya dicoret dari agenda Dispora tahun 2019. Ada pula beberapa agenda besar lain berupa event berskala internasional (yang saya lupa apa saja namanya), dicoret oleh dewan.
Sabang Marathon memang mendulang masalah, hingga gubernur Aceh harus terjerat kasus hukum. Orangnya --boleh jadi-- salah, namun tidak perhelatannya. The show must go on, karena --sebagaimana yang dialasankan oleh Irwandi-- Aceh memang harus diperkenalkan kepada dunia. Aceh harus diperlihatkan sebagai daerah yang aman. Kita harus buka mata, begitu banyak diluar sana yang ogah ke Aceh untuk berlibur karena mereka menganggap separatisme di Aceh masih belum pulih benar, sebagaimana Papua. Sehingga, harus ada strategi, untuk membuat orang untuk hadir ke Aceh, melihat Aceh, lalu kemudian dibawah alam sadarnya menjadi duta untuk memberitakan Aceh secara positif ke dunia luas. Mouth to mouth promotion is the best promotion, itu kata pemasar jadul era Soneta Band. Marathon adalah sebuah cara jitu untuk mendatangkan banyak orang Aceh. Dan biarkan ajakan dari mulut orang lain berperan. Video ini adalah salah satu contoh yang sangat menggugah dan penuh agitasi. (https://www.youtube.com/watch?v=N3uLnCYy080). Sekarang, bayangkan, ribuan orang sudah mendaftar, lalu acara marathon itu dibatalkan. Alih-alih menganggap hanya pelaksana yang mengalami kerugian, justru sebenarnya justru seluruh 4,5 juta rakyat Aceh menanggung rugi, karena nama Aceh sangat tercoreng. Membuat acara tapi tidak jadi. Orang akan sulit percaya lagi dan ketidakpercayaan itu bisa jadi akan pulih lama. Saya sangat menyayangkan itu.
Anggota dewan mengatakan bahwa lebih baik dana dialihkan untuk membangun rumah dhuafa. “Yaelah ni bocah. Bukankah semua dana APBA yang 17 trilyun sudah ada peruntukannya kan yak,” itu kata Mpok Alpa. Penganggaran rumah dhuafa sudah ada dan sudah dikelola oleh dinas terkait. Kesehatan dan pendidikan juga demikian. Lingkungan dan kebersihan kota juga diperhatikan. 17 trilyun sudah dipecah untuk segala keperluan dan hajat hidup masyarakat Aceh. Proporsi pembagiannya juga sudah diatur sedemikian rupa. Ada banyak pengeluaran yang seharusnya tidak ada lagi pada 2019 namun tetap dipertahankan karena dianggap Aceh memiliki dana cukup, seperti, saat qanun retribusi yang mewajibkan Trans Kutaradja mengutip tarif penumpang pada 2019, akhirnya dibatalkan plt Gubernur. “Tidak perlu, anggaran kita cukup,” kata Nova Iriansyah. Kemen-PUPR juga telah menganggarkan 2.005 rumah bantuan untuk dhuafa tahun ini. Artinya, anggaran sudah ada dan telah pada pos-nya.
Mungkin mereka lupa, bahwa, sepanjang sebuah ‘hal’ sampai dikelola oleh sebuah instansi setingkat dinas, ya berarti ‘hal’ itu penting. Kalau tidak penting, untuk apa ada lembaganya, kan begitu toh pemikiran kita seharusnya. Misalnya nih, kolor. Kolor itu ranah privasi yang tak perlu diurus oleh dinas. Jadi karena itu sampai sekarang tidak ada tuh ‘Dinas Perkoloran dan Pengayomannya Dalam Keseharian’. Nah, jadi kalau ada yang namanya Dinas Pariwisata, berarti pariwisata itu penting. Kalau ada Dinas Perkebunan, berarti mengurus dan mengendalikan sektor perkebunan itu penting. “Coba sedikit kau renungkanlah itu sambil berak besok pagi,” kata Ucok setengah berteriak sambil minum tuak.
Itu belum bicara pariwisata dalam aspek jangka panjang. Ketika dana otsus habis 10 tahun lagi, apa kira-kira yang dapat diandalkan oleh sebagian wilayah Aceh yang minim sumber daya alam dan bukan kota pemerintahan dan pendidikan, seperti Sabang misalnya? Ya tentu saja pariwisata.
Jadi, buang pikiran itu jauh-jauh, Vanessa Angel.
Kedua, instansi lain juga bertanggungjawab karena memiliki peran terhadap statistik negatif ini. Baik itu Dishub, dalam hal ini yang menaungi ASDP, yang sampai sekarang tidak mampu membereskan karut-marut penyeberangan Ulee Lheue - Balohan saat peak season, dimana saya masih juga menerima kirimin video WA tentang calon penumpang memaki-maki petugas karena loket yang hanya buka 5 menit lalu karcis dinyatakan habis. Kemudian Pemko Sabang dan BPKS tentu memiliki andil terhadap penurunan ini.
Kenapa saya hanya bicara Sabang, tidak daerah lain? Karena ingin realistis saja. Sabang adalah wilayah yang paling layak dan masuk akal untuk dijadikan destinasi wisata --khususnya mancanegara-- dibanding seluruh kabupaten dan kota lain. Pada kasus Sabang, berhentinya dua operator moda udara (Wings dan Garuda), menurut saya adalah salah satu kemunduran besar untuk Sabang pada 2018. Bisa saja itu salah satu faktor yang mengakibatkan berkurangnya jumlah kunjungan tersebut.
Bila boleh sedikit menambahkan sebuah daerah lain yang menarik dikunjungi wisatawan mancanegara, saya akan menunjuk Simeulue, dimana Simeulue memiliki spot endemik, berupa ombak Samudera Indonesia yang ideal untuk surfing, dan yang cukup penting, disinggahi oleh komuter, minimal sejenis ATR.
Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri Focus Group Discussion yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata, membahas tentang potensi wisata kapal pesiar di Sabang. Kemenpar mengundang perwakilan Genting Cruise Hongkong untuk “melihat-lihat” Sabang dan potensinya. Dari materi selama 2-3 jam dalam FGD tersebut, saya mengambil kesimpulan, statement Ketua Tim Percepatan Wisata Bahari Kementerian Pariwisata, Indroyono Soesilo (yang kita kenal sebelumnya sebagai Menko Kemaritiman) mengakui telah banyak berusaha berbuat dan memberi dukungan bagi terwujudnya percepatan wisata di Aceh. Hanya saja, masalahnya hanya satu, pemerintah daerahnya siap atau tidak? Wakil Walikota Sabang dan Kepala BPKS yang hadir dalam acara tersebut, memberi reaksi dan jawaban yang standar-normatif. Saya terus terang pesimis. Pak Soesilo juga sempat mengeluarkan statement yang mengejutkan, “Sail Sabang adalah sail yang paling tidak berhasil dari segala sail yang ada.” ujarnya sembari menyarankan Sabang dijadikan wisata cycling (bersepeda) saja.
Terakhir, ketiga, last but not least, lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal ini adalah Disbudpar Aceh. Saya yakin, semua percaya, bahwa Aceh sepanjang 3 tahun kebelakang, penuh hingar bingar kegiatan pariwisata. Saya memiliki kalender pariwisata Aceh. Saya terlibat, baik langsung atau tidak langsung, dengan event-event di lingkup Disbudpar. Dan dibawah ini adalah penilaian saya terhadap itu semua.
Kegiatan pariwisata Disbudpar, riuh didalam, senyap diluar. Apakah orang-orang diluar Aceh mengetahui tentang event yang diadakan di Aceh. Saya tak melihat itu. Bagi saya, publisitas adalah nilai merah pada rapor Disbudpar. Publisitas sih ada. Tapi tidak ideal, konon lagi masiv. Uniknya, Disbupdar malah memilih media lokal untuk mempromosikan kegiatannya. Kasarnya begini, yang bikin event orang Aceh, yang datang orang Aceh, yang senang orang Aceh, yang tepuk tangan orang Aceh. Orang luar tidak tahu apa-apa. Jika ada liputan televisi yang menyiarkannya secara nasional, jejaknya tak ada sama sekali. Lebih lucu, pernah suatu kali ada kegiatan pariwisata yang membayar hingga 50 juta untuk tayang disebuah stasiun televisi. Namun jam tayangnya, jam 6 pagi. “Piye-piye toh,” kata Black Pink.
Anggaran promosi yang mumpuni dan masiv itu keniscayaan, untuk saat ini. Hampir seluruh kegiatan yang booming yang terjadi dibawah kolong langit bumi ini, karena penyelenggara menganggarkan dana publikasi yang sangat masiv. Bahkan bisa hampir menyamai anggaran kegiatan itu sendiri. Di Aceh, fenomenanya, dana publikasi selalu menjadi muncul dari dana “sisa”. Itu kekeliruan besar. Mengutip ungkapan Stewart Hendersen Britt, pengarang buku Psychological Principles of Marketing and Consumer Behavior, menyelenggarakan sesuatu tanpa publisitas ideal ibarat mengedipkan mata kepada seorang gadis dalam kegelapan. Kamu tahu yang kamu lakukan, sayangnya dia tidak.
Saya yakin, soal pariwisata, tentulah pihak dinas pariwisata lebih jago dibanding saya. Tapi, ketika kita bicara publisitas, pengalaman saya belasan tahun di media, berat untuk memberi anggukan, ketika ada pertanyaan apakah publisitasnya sudah ideal? Saya berani berdiskusi panjang dalam satu meja, berbicara sejauh mana aspek tersebut benar-benar dimaksimalkan oleh lembaga tersebut. Ketika kita memulai bicara konsep above the line dan below the line dalam pemasaran, disitu saja saya sudah punya banyak catatan.
Ada sebuah cerita lucu, ketika saya memperoleh sertifikat Google Partner untuk mengelola ruang iklan Google pada 2016, dinas yang pertama kali saya datangi adalah Disbudpar Aceh. Saya ingin memperkenalkan bagaimana periklanan digital sangat tepat dan relevan untuk memperkenalkan wisata Aceh, terlebih ketika Kemenpar kelak mencanangkan slogan pemasaran wisata “Go Digital, Be the Best” menyongsong era pemasaran ala gadget tersebut. Saya bahkan mencontohkan bagaimana India tidak pernah memasarkan wisatanya di negeri mereka sendiri. Paling konvensional, mereka menayangkan iklan di channel National Geographic. Tapi, ketika itu, kala saya mempresentasikannya, seorang Kasi yang ditunjuk untuk mendengarkan presentasi saya hanya mendengarkan sambil bekerja dengan wajah nyaris tak melihat saya karena terus mengetik. Bila kejadian ini ada dalam adegan film The Secret Life of Walter Mitty, tentu Sean Penn tak sekedar berkata, “Wah, saya tersinggung sekali dengan caramu.” Tapi ia akan ikut menempeleng orang itu. Respon lebih baik datang dari Kadisbudpar Aceh terdahulu, Reza Fahlevi, namun ia keburu meninggalkan lembaga itu. Melihat iklim kerja bawahan beliau, saya pun tidak berminat untuk menawarkannya lagi, sampai hari ini.
Bila kemudian peran digital ad dianggap tidak menarik, uniknya, selang beberapa bulan, periklanan digital saya ‘dilirik’ oleh tetangga sebelah, Sumatera Utara. Digunakan pula oleh beberapa kementerian, dinas-dinas di Aceh yang memiliki kepentingan sosialisasi pesan layanan seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Lingkungan Hidup, kampus-kampus, sektor swasta, bahkan Humas Pemerintah Aceh.
Belakangan saya dengar, ada yang menganggap iklan digital dianggap setara dengan pakai jasa selebgram buat endorsment, walah, kalau saya dengar kalian juga begitu, akan kutuk kalian semua jadi batu. Buussh...bussh.....
Periklanan digital mengandung unsur key performance indicator, dan itu telah berhasil dibuktikan di beberapa lembaga yang menggunakan metode publikasi ini, tentu dengan ketentuan yang harus dilaksanakan ketat dan disiplin. Saat ini tak ada marcom handal yang tak menggunakan pola ini. Sepanjang ia paham apa guna dan fungsinya.
Terakhir, saya memahami, mengelola pariwisata Aceh itu tantangannya besar, menghadapi prilaku masyarakatnya, yang primordialis, yang dikotomis nggak jelas juntrungannya, hingga beban politis.
Jika pada akhirnya hal itu bikin kalian pusing dan nggak kuat lagi, mari kita menari kumbaya bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H