Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kado Awal Tahun Pariwisata Aceh

5 Januari 2019   23:02 Diperbarui: 6 Januari 2019   20:18 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Kenapa saya hanya bicara Sabang, tidak daerah lain? Karena ingin realistis saja. Sabang adalah wilayah yang paling layak dan masuk akal untuk dijadikan destinasi wisata --khususnya mancanegara-- dibanding seluruh kabupaten dan kota lain. Pada kasus Sabang, berhentinya dua operator moda udara (Wings dan Garuda), menurut saya adalah salah satu kemunduran besar untuk Sabang pada 2018. Bisa saja itu salah satu faktor yang mengakibatkan berkurangnya jumlah kunjungan tersebut.

Bila boleh sedikit menambahkan sebuah daerah lain yang menarik dikunjungi wisatawan mancanegara, saya akan menunjuk Simeulue, dimana Simeulue memiliki spot endemik, berupa ombak Samudera Indonesia yang ideal untuk surfing, dan yang cukup penting, disinggahi oleh komuter, minimal sejenis ATR.

Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri Focus Group Discussion yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata, membahas tentang potensi wisata kapal pesiar di Sabang. Kemenpar mengundang perwakilan Genting Cruise Hongkong untuk “melihat-lihat” Sabang dan potensinya. Dari materi selama 2-3 jam dalam FGD tersebut, saya mengambil kesimpulan, statement Ketua Tim Percepatan Wisata Bahari Kementerian Pariwisata, Indroyono Soesilo (yang kita kenal sebelumnya sebagai Menko Kemaritiman) mengakui telah banyak berusaha berbuat dan memberi dukungan bagi terwujudnya percepatan wisata di Aceh. Hanya saja, masalahnya hanya satu, pemerintah daerahnya siap atau tidak? Wakil Walikota Sabang dan Kepala BPKS yang hadir dalam acara tersebut, memberi reaksi dan jawaban yang standar-normatif. Saya terus terang pesimis. Pak Soesilo juga sempat mengeluarkan statement yang mengejutkan, “Sail Sabang adalah sail yang paling tidak berhasil dari segala sail yang ada.” ujarnya sembari menyarankan Sabang dijadikan wisata cycling (bersepeda) saja.

Terakhir, ketiga, last but not least, lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal ini adalah Disbudpar Aceh. Saya yakin, semua percaya, bahwa Aceh sepanjang 3 tahun kebelakang, penuh hingar bingar kegiatan pariwisata. Saya memiliki kalender pariwisata Aceh. Saya terlibat, baik langsung atau tidak langsung, dengan event-event di lingkup Disbudpar. Dan dibawah ini adalah penilaian saya terhadap itu semua.

Kegiatan pariwisata Disbudpar, riuh didalam, senyap diluar. Apakah orang-orang diluar Aceh mengetahui tentang event yang diadakan di Aceh. Saya tak melihat itu. Bagi saya, publisitas adalah nilai merah pada rapor Disbudpar. Publisitas sih ada. Tapi tidak ideal, konon lagi masiv. Uniknya, Disbupdar malah memilih media lokal untuk mempromosikan kegiatannya. Kasarnya begini, yang bikin event orang Aceh, yang datang orang Aceh, yang senang orang Aceh, yang tepuk tangan orang Aceh. Orang luar tidak tahu apa-apa. Jika ada liputan televisi yang menyiarkannya secara nasional, jejaknya tak ada sama sekali. Lebih lucu, pernah suatu kali ada kegiatan pariwisata yang membayar hingga 50 juta untuk tayang disebuah stasiun televisi. Namun jam tayangnya, jam 6 pagi. “Piye-piye toh,” kata Black Pink.

Anggaran promosi yang mumpuni dan masiv itu keniscayaan, untuk saat ini. Hampir seluruh kegiatan yang booming yang terjadi dibawah kolong langit bumi ini, karena penyelenggara menganggarkan dana publikasi yang sangat masiv. Bahkan bisa hampir menyamai anggaran kegiatan itu sendiri. Di Aceh, fenomenanya, dana publikasi selalu menjadi muncul dari dana “sisa”. Itu kekeliruan besar. Mengutip ungkapan Stewart Hendersen Britt, pengarang buku Psychological Principles of Marketing and Consumer Behavior, menyelenggarakan sesuatu tanpa publisitas ideal ibarat mengedipkan mata kepada seorang gadis dalam kegelapan. Kamu tahu yang kamu lakukan, sayangnya dia tidak.

Saya yakin, soal pariwisata, tentulah pihak dinas pariwisata lebih jago dibanding saya. Tapi, ketika kita bicara publisitas, pengalaman saya belasan tahun di media, berat untuk memberi anggukan, ketika ada pertanyaan apakah publisitasnya sudah ideal? Saya berani berdiskusi panjang dalam satu meja, berbicara sejauh mana aspek tersebut benar-benar dimaksimalkan oleh lembaga tersebut. Ketika kita memulai bicara konsep above the line dan below the line dalam pemasaran, disitu saja saya sudah punya banyak catatan.

Ada sebuah cerita lucu, ketika saya memperoleh sertifikat Google Partner untuk mengelola ruang iklan Google pada 2016, dinas yang pertama kali saya datangi adalah Disbudpar Aceh. Saya ingin memperkenalkan bagaimana periklanan digital sangat tepat dan relevan untuk memperkenalkan wisata Aceh, terlebih ketika Kemenpar kelak mencanangkan slogan pemasaran wisata “Go Digital, Be the Best” menyongsong era pemasaran ala gadget tersebut. Saya bahkan mencontohkan bagaimana India tidak pernah memasarkan wisatanya di negeri mereka sendiri. Paling konvensional, mereka menayangkan iklan di channel National Geographic. Tapi, ketika itu, kala saya mempresentasikannya, seorang Kasi yang ditunjuk untuk mendengarkan presentasi saya hanya mendengarkan sambil bekerja dengan wajah nyaris tak melihat saya karena terus mengetik. Bila kejadian ini ada dalam adegan film The Secret Life of Walter Mitty, tentu Sean Penn tak sekedar berkata, “Wah, saya tersinggung sekali dengan caramu.” Tapi ia akan ikut menempeleng orang itu. Respon lebih baik datang dari Kadisbudpar Aceh terdahulu, Reza Fahlevi, namun ia keburu meninggalkan lembaga itu. Melihat iklim kerja bawahan beliau, saya pun tidak berminat untuk menawarkannya lagi, sampai hari ini.

Bila kemudian peran digital ad dianggap tidak menarik, uniknya, selang beberapa bulan, periklanan digital saya ‘dilirik’ oleh tetangga sebelah, Sumatera Utara. Digunakan pula oleh beberapa kementerian, dinas-dinas di Aceh yang memiliki kepentingan sosialisasi pesan layanan seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Lingkungan Hidup, kampus-kampus, sektor swasta, bahkan Humas Pemerintah Aceh.

Belakangan saya dengar, ada yang menganggap iklan digital dianggap setara dengan pakai jasa selebgram buat endorsment, walah, kalau saya dengar kalian juga begitu, akan kutuk kalian semua jadi batu. Buussh...bussh.....

Periklanan digital mengandung unsur key performance indicator, dan itu telah berhasil dibuktikan di beberapa lembaga yang menggunakan metode publikasi ini, tentu dengan ketentuan yang harus dilaksanakan ketat dan disiplin. Saat ini tak ada marcom handal yang tak menggunakan pola ini. Sepanjang ia paham apa guna dan fungsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun