Mohon tunggu...
Hendradi Hardhienata
Hendradi Hardhienata Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Dr. rer. nat. Fisika Teoretik dari Universitas Linz, Austria. Anggota himpunan keilmuan: Indonesian Optical Society (INOS), Austrian Physical Society (OePG) dan Optical Society of America (OSA).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tanggapan Soal "PR Anak 2 SD yang Membuat Heboh Facebook" (Updated)

22 September 2014   21:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:55 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411369170170430967

Beberapa hari yang lalu ada posting yang membuat heboh media sosial. Kasusnya adalah sebagai berikut: Seorang siswa kelas 2 SD mendapat PR matematika perkalian sederhana oleh gurunya. Kakak dari siswa tersebut turut membantu. Celakanya, jawaban sang kakak bukannya menghasilkan nilai 100 tetapi hanya dihargai 20 alias: hampir semua jawaban 'salah'. Tanda kutip di sini artinya menurut versi guru. Akibatnya sang kakak melakukan protes dengan menulis paragraf pembelaan dengan argumen bahwa 4 x 6 sama dengan 6 x 4.

Reaksi pertama saya sebagai seorang guru dan ilmuwan tentu adalah perasaan terusik. Bagaimanapun seorang guru dikirimi surat 'cinta' dari orang yang tidak seharusnya mengerjakan PR-nya tampak sebagai suatu 'pelecehan'. Tetapi otak rasional yang terasah akan segera menyampingkan semua perasaan dan mengakifkan koneksi 'logika'.

Ok mari kita bahas soal nomor 1. saja karena soal berikutnya adalah identik.

4 + 4 + 4+ 4 + 4+ 4 =    x  =

soal ini sangat sederhana karena memang merupakan soal penjumlahan dan perkalian bilangan bulat. Jujur saja kalau Anda diberikan soal seperti ini pasti jawabannya langsung keluar. Saya yakin jawabannya hampir berimbang antara 4 x 6 dan 6 x 4 bahkan yang kreatif mungkin akan menuliskan 4 x 2 x 3 atau bahkan -4 x -6 atau versi lain yang juga menghasilkan hasil sama dengan 24.

Tapi dari cara guru tersebut menilai jawaban si anak, tampaknya bahwa satu-satunya jawaban yang valid atau benar hanyalah 6 x 4, atau ada 6 kali angka 4. Jawaban ini mungkin adalah jawaban yang sesuai dengan contoh sang guru juga mungkin berdasarkan argumen bahwa proses penghitungan harus sesuai karena misalnya minum obat 3 kali sehari tidak sama dengan satu kali 3. Lantas siapa yang benar?

Sebenarnya jawabannya tidak sulit kalau kita memahami fondasi matematika. Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, struktur, dan transformasi/operasi terkait. Dalam matematika setiap bilangan dikelompokkan dalam bentuk himpunan berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya. Misalkan dikenal klasifikasi bilangan prima yang merupakan anggota himpunan bilangan bulat. Selanjutnya bilangan bulat merupakan himpunan bilangan rasional dst. Kemudian operasi matematika yang melekat pada himpunan tertentu mengikuti sejumlah ketetapan atau aksioma. Misalkan, perkalian dua bilangan bulat atau secara lebih umum bilangan rasional bersifat komutatif artinya:

Jika A dan B adalah himpunan bilangan rasional maka A B = B A atau AB - BA = 0

juga berlaku sejumlahan aturan main lainnya seperti sifat tertutup (closed) yakni


A B juga harus merupakan himpunan bilangan rasional dan bukan himpunan bilangan irrasional misalnya. Juga dikenal sifat asosiatif, distributif dll.. Setiap formulasi ilmiah apakah itu dalam fisika, biologi, kimia, dll mengikuti aturan ini.

Dalam matematika yang dimaksud dengan pandangan yang berbeda adalah satu hal yang bisa dinyatakan oleh lebih dari satu ekspresi yang setara. Begitu juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 bisa diartikan 4-nya ada 6 kali dan ada 6 kali angka 4. Jika seorang anak selalu menggunakan 6 x 4 maka ia akan menjadi bingung jika ada orang yang menukarkan posisi padahal keduanya valid. Lebih jauh lagi tidak ada satuan yang melekat pada 4 maupun 6 keduanya adalah dimensionless maka sudah pasti bisa dipertukarkan. Jadi tidak ada sudut pandang yang istimewa semua sudut pandang yang tidak bertentangan dengan validitas aturan operasi yang melekat pada himpunan bilangan harus merupakan jawaban yang sah. Anda mungkin berpikir bahwa saya terlalu jauh menafsirkan suatu aturan untuk anak SD namun hal ini akan dibawa terus dan yang dibutuhkan adalah konsistensi. Bahwa x disini adalah operasi matematik yang melambangkan perkalian jadi ada 6 kali angka 4 dan angka 4 nya ada 6 kali itu sama. Dua representasi yang setara. Jadi secara asas kebenaran yakni asas logika matematika yang valid si anak itulah yang benar! Karena ia menggunakan sifat komutatif dari operasi perkalian bilangan rasional.

Akan tetapi operasi perkalian dalam matematika tidak selalu komutatif. Misalkan jika A dan B adalah matriks maka secara umum A B tidak sama dengan B A , hanya jika kedua matriks A dan B bisa didiagonalisasi artinya hanya komponen diagonalnya saja yang bisa bernilai sedangkan komponen lainnya nol maka operasi komutatif berlaku. Contoh lainnya adalah jika A dan B adalah operator atau suatu yang baru memiliki nilai ketika dioperasikan pada sesuatu katakanlah fungsi f, secara umum tidak harus komutatif. Misalkan operator diferensial dalam fisika biasanya tidak selalu komutatif.

Ada argumen kontra bahwa maksud guru di sini mengajarkan proses perkalian, sehingga argumen di atas tidak bisa digunakan. Misalkan minum obat tiga kali sehari kan tidak sama dengan satu kali tiga, atau cicilan motor 20 kali 12 tidak sama dengan 12 kali 20. Di sini saya bisa membantah argumen tersebut sebagai berikut: Apakah 'kali' dalam kalimat sebelumnya adalah operator matematika dan A dan B adalah bilangan bulat atau rasional? Jika Anda katakan itu tidak sama maka kali di sini BUKAN operator matematika tetapi suatu makhluk lain misalkan bermakna linguistik: sebanyak n dalam waktu....Jika Anda anggap sama maka Anda harus konsisten dalam menerapkan definisi mana variabel terkait peggunaan dan mana terkait dosis obat:

A= banyaknya penggunaan
B = dosis obat

A=3 B=1

Maka A B = 3 kali penggunaan x 1 dosis obat = 1 dosis obat x 3 kali penggunaan

Begitu juga argumen soal bata, buah,keranjang, dll. harus jelas:
Bata= 6 Pengangkutan =4

Bata x Pengangkutan = Pengangkutan x Bata = 6 x 4 = 4 x 6 secara proses idem/sama!

Dalam fisika sering dikatakan terdapat freedom of choice atau kebebasan dalam pemilihan cara. Misalnya ada banyak pemilihan potensial yang sahih dalam memperoleh nilai medan listrik dan magnet di satu titik (dikarenakan prinsip simetri)

Inilah mengapa saya bersebrangan dengan pendapat Prof. T. Djamaludin atau Prof. Yohannes Surya (mengenai kesepakatan), karena misalnya meninjau dua kasus berbeda yakni dalam kasus bata mengganti bata menjadi 4 dan pengankutan menjadi 6. Ini adalah dua hal yang berbeda tentu saja hubungan komutasinya tidak sama. Ada flaw in thinking disini. Yang selalu sama adalah

4 bata x 6 pengangkutan = 6 pengangkutan x 4 bata

kemudian mengenai masalah kesepakatan mana yang ditulis didepan, itu adalah sesuatu additional constraint atau justru menjadi beban tambahan toh kedua pemilihan sama sama valid (by commutative law).

So, mengapa kita harus mengistimewakan satu padahal yang lain juga merupakan representasi setara? Ini sama dengan pemilihan kerangka acuan dalam fisika, semua kerangka acuan inersial melihat hukum fisika yang sama dikarenakan simetri (invariansi lorentzian). Ini adalah salah satu teorema fundamental fisika mengapa teorema fundamental fisika/atau kebebesan matematika harus diduakan oleh kesepakatan yang condong pada argumen by authority? Kalau kesepakatan ini adalah kesepakatan internasional, saya rasa juga tidak karena buku acuan di negara X dan Y bisa tidak sepakat dalam menentukan mana variabel angka dan mana variabel penjumlahan berulang. Matematika adalah bahasa universal dan harus tetap begitu . Lagipula kalau referensinya adalah dari luar---- so what? Kita harus bangga dengan pemikiran kita sendiri, apa yang ditulis pakar asing pun bisa wrong! Bangsa Indonesia memiliki gambaran sendiri mengenai arti kemerdekaan dan prinsip bangsa (Pancasila) dan budaya yang unik. Kita juga harus berani mengatakan: NO to mencontoh sesuatu yang sempit dan move on ke pemikiran yang lebih general. Saya yakin anak kalau diajari bahwa minum obat 1 dosis 3 kali sehari sama dengan 3 kali sehari minum obat satu dosis akan paham karena ada keterangan yang menyertai.  Generasi muda bangsa ini baik didalam maupun luar negeri harus mandiri dalam berpikir dan cerdas. Kurikulum harus disusun oleh orang orang Indonesia sendiri dengan mental cerdas mandiri, yang melihat secara jauh konsekuensi dari harus sama dengan contoh. Creativity...creativity....we need creativity....!

AB = BA untuk A B himpunan rasional ini adalah aturan


Contoh lain: luas segitiga adalah 1/2 A t, sama saja jika dikerjakan 1/2 t A atau A 1/2 t karena ketiganya adalah bilangan rasional bisa dikomutasikan. Prosesnya berbeda? yang satu alas dulu terus tinggi bagi dua yang satu tinggi dulu...lho kan sama saja! Jadi pola pikir satu solusi bisa bermasalah!

Aturan linguistik seperti frase MD (menerangkan diterangkan) atau DM yang bisa bermakna lain dalam bahasa tidak bisa disamakan dengan operasi matematika karena memang struktur dasarnya tidak sama. Kalau disamakan maka harus aturan komutasi DM = MD harus berlaku, padahal kan tidak.

Menurut saya, siswa harus diajarkan fondasi matematiknya dulu kemudian dijelaskan bahwa kali dalam bahasa sehari hari tidak selalu sama dengan simbol kali x dalam matematika. Anak harus lebih banyak mengenal struktur dan bilangan misalnya dalam bentuk  gambar atau objek ketimbang masuk ke operasi matematis yang formal. Kreativitas harus didahulukan penghukuman harus diganti dengan kearifan bahkan bisa jadi Anak tersebut sebenarnya lebih cerdas dari teman temannya. Berikan ilustrasi dalam bentuk visual misalkan mengenai penggunaan obat sebanyak tiga kali sehari dengan label gambar OBAT = 1 PENGGUNAAN = 3 (pagi,siang malam) TANPA  masuk ke hitung hitungan kertas dulu.

Jawaban soal di atas sudah benar, bahkan karena kedua ruas adalah angka bukan variabel maka tanda sama dengan mengijinkan sejumlah takhingga solusi yang benar, asalkan jumlah kedua ruas sama. Menyuruh siswa untuk menjawab sesuai guru bisa berbahaya karena di masa depan ia akan berpikir argumen by authority atau kuasa ketimbang argument by PROOF.

Quod erat dozentum, eh salah demonstrandum (PROOF)!!!!

PS: Artikel ini saya persembahkan terutama untuk para guru di segenap penjuru tanah air, mereka yang pagi pagi berangkat untuk mengajari murid dengan harapan agar muridnya menjadi anak yang berguna bagi negara. Dan untuk guru yang memeriksa soal diatas, saya yakin beliau adalah guru yang ingin habibi menjadi kebanggan indonesia di masa depan. I love you full.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun