Catatan singkat ini sebagai bagian abstrak tesis saya bahwa Indonesia menganut sistem quasi-bicameral. Sistem dua kamar semu. Ditandai dengan kelahiran dan keberadaaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak awal kelahirannya – tahun 2001, saat amandemen ketiga UUD 1945 – berkembang anggapan DPD adalah kamar parlemen sebelah. Anggapan yang dilandasi dengan prespektif bicameralism itu kemudian berkembang menjadi mitos-mitos. Berikut beberapa mitos DPD dan sanggahannya:
ANGGOTA DPD ADALAH SENATOR
Istilah senator memang sudah muncul saat amandemen UUD 1945 kedua tahun 2000. Saat para perumus ingin “mendemokratisasi” utusan daerah di MPR. Merujuk pada istilah anggota senat di Amerika Serikat. Istilah ini menjadi marak pada tahun 2004, saat pertama kali anggota DPD dilantik. Banyak kalangan termasuk media massa menyebut mereka Senator. Sampai sekarang.
Sebutan itu kemudian jadi semacam mitos. Bahwa anggota DPD itu sesungguhnya adalah seorang Senator sebagaimana di Amerika sana. Padahal tidak sama sekali. Mungkin ada bayangan dikepalanya, bahwa dirinya seperti sosok senator yang gagah berani menentang kebijkan luar negeri yang diajukan oleh Presiden. Sebagaimana para senator di Amerika sana. Baik secara konstitusional, penerapan undang-undang maupun tradisi ketatanegaraan, anggota DPD bukanlah senator. Indonesia memang pernah punya senator. Saat UUD RIS diberlakukan. Jadi bukan kasta senator Indonesia dan Amerika beda. Bukan. Tapi karena Indonesia tidak mengenal senat dan senator.
DPD ADALAH PARLEMEN DALAM SISTEM DUA KAMAR
Sama seperti mitos senator di atas. Sistem dua kamar atau bikameral menjadi bahan pembahasan dalam perumusan amandemen UUD 1945. Dari semua itu, kesimpulannya: Indonesia tidak menganut sistem dua kamar atau bikameral. Indonesia tetap pada unikameral atau satu kamar yakni DPR an sich. Artinya DPD bukanlah kamar. Kamar dalam pengertian menjalankan fungsi parlemen dalam sistem dua kamar. Pendek kata DPD bukan parlemen. Bukan legislator. Bukan pihak yang merancang dan menyetujui undang-undang, sebagaimana umum fungsi parlemen.
Pada dasarnya DPD adalaha wujud Utusan Daerah yang didemokratisasi. Maksudnya anggota DPD dipilih tidak ditunjuk. Itu saja. Meskipun kemudian ditambah dengan kewenangan dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.
DPD adalah anggota MPR. Sama seperti anggota DPR. Apa hak, kewajiban dan kewenangan DPR sama seperti DPD sesama anggota MPR. Lalu apa kewenangan MPR. Sila baca sendiri UUD 1945. Diantaranya dapat memberhentikan Presiden. MPR bukan Kongres seperti Amerika. Karena Kongres menjalankan fungsi parlemen. Sedangkan MPR tidak. Kalau mau dibilang kamar, dahulu Indonesia menganut sistem tiga kamar di MPR saat Utusan Golongan masih ada.
DPD LEBIH SAH DISEBUT WAKIL RAKYAT KETIMBANG DPR
Anggapan dan kemudian jadi mitos ini berkembang pada anggota DPD yang terpilih. Dipilih rakyat dalam Pemilu. Dalam hitung-hitungan perolehan suara, anggota DPD lebih banyak mendapat dukungan suara ketimbang anggota DPR, yang sama-sama sebagai bagian dari lembaga perwakilan. Ambil contoh provinsi Jawa Tengah. Anggota DPR yang terpilih lebih dari 40 orang. Sedangkan anggota DPD hanya 4 orang. Artinya merekalah yang paling sah disebut wakil rakyat.
Padahal dipilih langsung oleh rakyat hanyalah cara atau mekanisme demokrasi. Bukan berarti dipilih rakyat berarti wakil rakyat. Jika diperbandingkan seperti itu, tentu Presiden dan Wakil Presiden yang lebih sah disebut wakil rakyat.
Dalam sistem ketatanegaraan, DPR adalah orang yang mewakili penduduk atau orang. Sedangkan DPD adalah orang yang mewakili ruang atau daerah. Tidak peduli sedikit banyak penduduk di satu daerah, anggota DPD tetap sama disemua daerah (baca: propinsi). Jadi yang mereka wakili adalah ruang , tempat atau daerah bukan orang, bukan penduduk. Bahwa lewat Pemilu, itu adalah mekanisme semata. Jika anggota DPD ditujuk oleh DPRD Propinsi seperti dahulu Utusan Daerah, hakekatnya sama: wakil daerah bukan wakil rakyat atau wakil penduduk.
DPD MEMPERKUAT OTONOMI DAERAH
Memang tidak dapat dipungkiri, isu otonomi daerah hingga daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia menjadi pembahasan di sidang MPR sejak tahun 1999. Dan kelahiran DPD, salah satunya didorong oleh faktor ini. Tetapi pihak yang memperkuat otonomi daerah adalah kepala daerah masing-masing. Khususnya Bupati/ Walikota bukan DPD.
Dilihat dari skema keterwakilan, anggota DPD mewakili propinsi. Dari beberapa daerah, wilayah propinsi memang mendapat perhatian khusus seperti Jakarta, Yogyakarta, Aceh, dan Papua. Selebihnya otonomi berada di kabupaten – kota.
Faktanya, upaya memperkuat otonomi daerah dilakukan langsung oleh Bupati/ Walikota atau anggota DPRD setempat yang melakukan komunikasi dan lobby baik ke DPR maupun ke Kementrian. Saluran ke DPR, dengan memperhatikan anggota DPR yang mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) yang mencakup Kabupaten / Kota itu. Dalam prakteknya, anggota DPR dari Dapil dapat menurunkan “proyek” di daerah-daerah dengan mengatasnamakan kepentingan Dapil. Hal ini justru agak sukar – meskipun ada – dilakukan oleh anggota DPD yang katanya memeperkuat otonomi daerah.
LEMAHNYA KEWENANGAN DPD
Saya menduga pikiran bahwa DPD itu lemah beranjak pada teori yang dikembangkan oleh Giovanni Sartori dan Hans Kelsen. Tetapi keduanya beranjak pada basis bicameralism. Dimana ada rentang toleransi dari batasan soft hingga strong dan perfect. Yang mengambarkan adanya keseimbangan antara dua kamar. Terjadi check and balances diantara keduanya. Jika tidak imbang, maka itulah disebut lemah.
Padahal dalam perumusan awal hingga menjadi norma dalam konstitusi, DPD bukan parlemen kamar sebelah. Jadi tidak ada relevansinya adanya keseimbangan kewenangan kedua “kamar” ini. Sejak awal memang dirancang “tidak imbang”. Misalnya dari jumlah anggota DPD dan DPR sebagai bagian dari MPR. Asumsinya, perwakilan ruang tidak boleh lebih banyak atau sama dengan perwakilan penduduk. Jadi kalau kewenangan DPD seperti sekarang ini – yang tidak punya hak legislasi, diantaranya – memang seharusnya begitu. Karena DPD bukan parlemen.
DPD HARUS BUKAN ORANG PARPOL
Pikiran ini berkembang saat anggota DPD (bahkan ketua DPD) menjadi bagian dari partai politik. Padahal konstitusi tidak melarangnya baik secara tersirat maupun tersurat. Norma ini pernah diuji di Mahkamah Konstitusi. Anggapan bahwa DPR itu adalah “wakil partai” sedangkan DPD adalah “wakil daerah” yang harus bebas dari kepentingan partai politik. Perbandingan ini keliru. DPR adalah wakil rakyat (penduduk) yang dicalonkan lewat partai politik. Sedangkan DPD adalah wakil daerah dari unsur perseorangan. Harusnya yang dihadap-hadapkan adalah partai politik versus perseorangan.
Jika demikian apakah perseorangan harus non partisan atau non parpol? Tidak ada ketentuan itu. Karena frasa “perseorangan” juga digunakan dalam calon kepala daerah independen. Dan kepala daerah independen yang dari jalur perseorangan bukanlah orang yang bebas sama sekali dari pengaruh partai politik.
Dan ini yang lebih penting: Jika anggota DPD (atau ketua) dari partai politik, apa pengaruhnya?. Pengaruh dalam kewenangan yang maha serba terbatas itu. Atau pengaruhnya dalam sidang MPR?. Hampir tidak ada sama sekali. Dia anggota parpol atau tidak, kinerja dan kewenangan DPD tidak bertambah baik atau buruk. Tetap saja dianggap “anak bawang” oleh anggota DPR. Saya bilang anak bawang, ada contohnya: Sejak tahun 2015, DPD mengusulkan (hak inisiatif) RUU Wawasan Nusantara. Sampai hari ini belum juga dibahas secara serius oleh Baleg DPR. Bayangkan 1 RUU dalam batasan hak inisiatif saja, memakan waktu 2 tahun belum ada outputnya.
Apakah jika anggota DPD bebas dari pengaruh partai politik, dia menjadi non partisan? Fakta yang mencolok adalah anggota DPD dari DKI Jakarta. Dalam perhelatan Pilkada DKI 2017, sebagai “wakil Jakarta”, dia memihak kepada salah satu calon. Ini jelas partisan. Kalau anggota DPR partisan itu jelas, karena dia tunduk pada kepentingan partainya. Jadi anggota DPD dari unsur parpol atau tidak, fakta politiknya tetap saja partisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H