Dalam sistem ketatanegaraan, DPR adalah orang yang mewakili penduduk atau orang. Sedangkan DPD adalah orang yang mewakili ruang atau daerah. Tidak peduli sedikit banyak penduduk di satu daerah, anggota DPD tetap sama disemua daerah (baca: propinsi). Jadi yang mereka wakili adalah ruang , tempat atau daerah bukan orang, bukan penduduk. Bahwa lewat Pemilu, itu adalah mekanisme semata. Jika anggota DPD ditujuk oleh DPRD Propinsi seperti dahulu Utusan Daerah, hakekatnya sama: wakil daerah bukan wakil rakyat atau wakil penduduk.
DPD MEMPERKUAT OTONOMI DAERAH
Memang tidak dapat dipungkiri, isu otonomi daerah hingga daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia menjadi pembahasan di sidang MPR sejak tahun 1999. Dan kelahiran DPD, salah satunya didorong oleh faktor ini. Tetapi pihak yang memperkuat otonomi daerah adalah kepala daerah masing-masing. Khususnya Bupati/ Walikota bukan DPD.
Dilihat dari skema keterwakilan, anggota DPD mewakili propinsi. Dari beberapa daerah, wilayah propinsi memang mendapat perhatian khusus seperti Jakarta, Yogyakarta, Aceh, dan Papua. Selebihnya otonomi berada di kabupaten – kota.
Faktanya, upaya memperkuat otonomi daerah dilakukan langsung oleh Bupati/ Walikota atau anggota DPRD setempat yang melakukan komunikasi dan lobby baik ke DPR maupun ke Kementrian. Saluran ke DPR, dengan memperhatikan anggota DPR yang mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) yang mencakup Kabupaten / Kota itu. Dalam prakteknya, anggota DPR dari Dapil dapat menurunkan “proyek” di daerah-daerah dengan mengatasnamakan kepentingan Dapil. Hal ini justru agak sukar – meskipun ada – dilakukan oleh anggota DPD yang katanya memeperkuat otonomi daerah.
LEMAHNYA KEWENANGAN DPD
Saya menduga pikiran bahwa DPD itu lemah beranjak pada teori yang dikembangkan oleh Giovanni Sartori dan Hans Kelsen. Tetapi keduanya beranjak pada basis bicameralism. Dimana ada rentang toleransi dari batasan soft hingga strong dan perfect. Yang mengambarkan adanya keseimbangan antara dua kamar. Terjadi check and balances diantara keduanya. Jika tidak imbang, maka itulah disebut lemah.
Padahal dalam perumusan awal hingga menjadi norma dalam konstitusi, DPD bukan parlemen kamar sebelah. Jadi tidak ada relevansinya adanya keseimbangan kewenangan kedua “kamar” ini. Sejak awal memang dirancang “tidak imbang”. Misalnya dari jumlah anggota DPD dan DPR sebagai bagian dari MPR. Asumsinya, perwakilan ruang tidak boleh lebih banyak atau sama dengan perwakilan penduduk. Jadi kalau kewenangan DPD seperti sekarang ini – yang tidak punya hak legislasi, diantaranya – memang seharusnya begitu. Karena DPD bukan parlemen.
DPD HARUS BUKAN ORANG PARPOL
Pikiran ini berkembang saat anggota DPD (bahkan ketua DPD) menjadi bagian dari partai politik. Padahal konstitusi tidak melarangnya baik secara tersirat maupun tersurat. Norma ini pernah diuji di Mahkamah Konstitusi. Anggapan bahwa DPR itu adalah “wakil partai” sedangkan DPD adalah “wakil daerah” yang harus bebas dari kepentingan partai politik. Perbandingan ini keliru. DPR adalah wakil rakyat (penduduk) yang dicalonkan lewat partai politik. Sedangkan DPD adalah wakil daerah dari unsur perseorangan. Harusnya yang dihadap-hadapkan adalah partai politik versus perseorangan.
Jika demikian apakah perseorangan harus non partisan atau non parpol? Tidak ada ketentuan itu. Karena frasa “perseorangan” juga digunakan dalam calon kepala daerah independen. Dan kepala daerah independen yang dari jalur perseorangan bukanlah orang yang bebas sama sekali dari pengaruh partai politik.