Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto yang dibacakan oleh Jaksa KPK dalam sidang perdana perkara KTP elektronik (9/3/2017), tersebut partai-partai politik menerima aliran uang hasil korupsi. Pada halaman 13 dan 72, disebut partai Golkar menerima uang Rp 150 juta, partai Demokrat menerima Rp 150 juta, partai PDI Perjuangan menerima Rp 80 juta dan partai-partai lainnya sejumlah Rp 80 juta. Bila dakwaan ini dapat dibuktikan dalam proses persidangan dan selanjutnya menjadi fakta persidangan, telah jelas bahwa partai-partai politik tersebut melakukan tindak pidana. Lebih halusnya, partai politik telah melakukan kesalahan. Pertanyaan selanjutnya, dengan kesalahan itu dapatkah partai politik tersebut dihukum? Tidak mudah menjawabnya, dengan sekedar ucapan: ya atau tidak. Karena ada pertanyaan dan pernyataan yang harus dijawab dan diklarifikasi terlebih dahulu.
Karena perkara korupsi KTP elektronik ini masuk dalam ranah hukum pidana, maka penjelasannya haruslah memakai prespektif hukum pidana. Jika meletakan partai politik sebagai subyek hukum, bisa saja digunakan prespektif hukum tata negara atau hukum perdata. Dengan hukum tata negara berkait dengan wacana pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi yang beberapa waktu lalu menjadi topik tulisan Yusril Ihza Mahendra. Bukan. Bukan dengan prespektif ini kita akan melihatnya. Atau menggunakan kacamata hukum perdata, yang memperdebatkan soal badan hukum partai poltik. Bukan. Bukan dengan kacamata ini kita akan meneropongnya. Tetapi – dan sekali lagi, prespektif hukum pidana yang menjadi pijakannya.
Pertanyaan pembukanya: dalam kacamata hukum pidana, apakah partai politik termasuk dalam katagori korporasi ?.
Bila menggunakan definisi atau batasan korporasi menurut UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pengertian ini lebih luas dari pengertian korporasi dalam hukum perdata. Hukum perdata memberi batasan pengertian korporasi hanya sebatas badan hukum, sedangkan hukum pidana lebih luas dari itu. Artinya firma, perseroan komanditer, persekutuan bahkan partai politik masuk dalam katagori korporasi dalam pengertian hukum pidana. Yakni,sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum.
Dari lima katagori pengertian korporasi menurut hukum pidana, kita ambil satu : kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum. Batasan ini selaras dengan pengertian Partai Politik dalam Pasal 1 angka 1 UU Parpol. Dan tekanan bahwa Partai Politik sebagai badan hukum terdapat pada Pasal 3 ayat (1) UU Parpol “ partai politik harus didaftarkan ke Kementrian untuk menjadi badan hukum”. Pada bahasan ini cukup jelas bahwa partai politik termasuk dalam katagori korporasi bila ditengok dari UU Tipikor dan UU TPPU. Ditambahkan oleh Yenti Garnasih bahwa batasan korporasi dalam riwayat pembahasan sejak masih RUU, bukan hanya perusahaan (profit) tetapi partai politik juga.
Pertanyaan kedua: jika partai politik dianggap melakukan kejahatan, apakah partai politik dapat diminta pertanggungjawaban pidana?
Sebelum mengacu kepada UU Tipikor dan UU TPPU, terlebih dahulu akan disinggung sekilas tentang doktrin respondeat superior yang menjadi teori dasar pertanggungjawaban pidana korporasi. Suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukantindak pidana atau miliki kesalahan.Melainkan hanya agen korporasi yang dapat melakukan kesalahan, dalam hal ini adalah mereka yang memiliki domain bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh karenanya maka hanya agen – agen korporasi saja yang memungkinkan melakukan kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatanya secara pidana. Pada perkembangan, doktrin respondeat superior inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya tiga metode pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu Direct Corporate Criminal liability, Strict Liability,danVicarious Liability. Ringkasnya, jika seseorang diberikan wewenang bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka mens rea orang tersebut adalah merupakan mens rea korporasi.
Merujuk pada UU TPPU, partai politik sebagai korporasi dapat dijatuhkan pidana (pencucian uang) Jika : (a) dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; atau (2) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; atau (3) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; atau (4) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Dalam konteks perkara KTP elektronik, para pengurus/ kader atau pimpinan partai politik lah yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai tindak pidana asal. Sedangkan partai politik sebagai subyek hukum, terkena jeratan tindak pidana pencucian uang, yang berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam UU TPPU, korporasi tidak harus betul-betul mengetahui dana itu bersumber dari hasil kejahatan, tetapi cukup dengan "patut menduga" bahwa dana itu bersumber dari hasil tindak pidana. Tentu saja unsur-unsur tindak pidana pencucian uang harus terpenuhi.Misalnya, terhadap korporasi yang menerima penempatan uang hasil korupsi, menerima manfaat atau keuntungan dari suatu tindak pidana, serta digunakan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bersumber dari tindak pidana.
Ketentuan pemidanaan terhadap korporasi (baca: partai politik) kembali ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016. Dalam Perma itu, hakim menyatakan korporasi melakukan kesalahan yang dapat dipidana, bilamana: (1). Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; (2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; (3)
Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Bila seluruh proses ini terbukti maka partai politik sebagai korporasi dapat dijerat dengan sanksi pidana pokok yakni denda maksimal Rp 100 miliar dengan menggunakan UU TPPU. Atau menggunakan dakwaan kumulatif multi door, yang menggunakan dua undang-undang sekaligus: UU Tipikor dan UU TPPU.
Tetapi, tidaklah semudah itu. Karena kemudian pengurus lain dari partai bersangkutan akan menarik garis demarkasi tegas antara tindakan pengurus partai yang mewakili dirinya sendiri dengan kepentingan atau kehendak partai. Dalam hal ini, para pengurus partai akan merujuk pada AD/ART dan mekanisme dalam partai itu untuk menyatakan bahwa tindakan itu tidak pernah diputuskan oleh partai atau partai mendapat manfaat karenanya.
Pada beberapa kasus korupsi terdahulu yang melibatkan para pengurus, pimpinan bahkan ketua umum partai, dinyatakan bahwa partai tidak terlibat. Sanggahan itu dinyatakan misalnya, tidak ada rapat resmi pengambilankeputusan penugasan pengurus partai “mencari uang haram”. Jikapun ada aliran uang masuk ke partai politik, dalam beberapa kasus tidak pernah masuk ke kas atau rekening resmi partai yang dinyatakan sebagai uang masuk ke partai. Tetapi masuk ke rekening pribadi atau rekening perusahaan. Contohnya Nazarudin yang jelas sebagai bendahara partai.
Kesimpulannya: Tidak mudah untuk menghukum partai. Apalagi mewacanakan pembubaran partai politik hanya karena menerima aliran uang hasil korupsi.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H