Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Masalahnya Bukan Pencurian Ikan, Ibu Susi..."

10 Desember 2014   22:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 3555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14182223801691010195

[caption id="attachment_381826" align="aligncenter" width="600" caption="Menteri Susi (Foto: Kompas.com)"][/caption]

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa kebiasaan mengkonsumsi ikan laut masyarakat Indonesia disebabkan ikan dari laut Indonesia banyak dicuri. "... kebiasaan itu (mengkonsumsi ikan laut) menurut Susi bukan salah masyarakat. Pasalnya, ikan-ikan dari laut Indonesia justru lebih banyak dicuri oleh kapal-kapal asing yang melakukan penangkapan ilegal" (sumber). Pernyataan ini disampaikan Menteri Susi dalam rapat kerja Kemenhub (10/12/2014).

Silogisme ini jika ditarik dalam hukum kausalitas menjadi rumusan : rendahnya konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia disebabkan maraknya iilegal fishing. Apa benar rumusan ini, bu Susi? Jika benar, solusinya menjadi: Menurunnya atau hilangnya tindak kejahatan illegal fishing akan meningkatkan konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia. Menurut saya, hubungan kausalitas ini keliru dan terbalik. Justru karena rendahnya konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia membuka celah maraknya illegal fishing. Jadi yang harus diperbaiki meningkatkan konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia agar dapat (secara tidak langsung) menekan praktek illegal fishing.

Perkara ini bukan mudah. Sebab makan-memakan bukan urusan hukum, politik, ekonomi atau sosial tetapi menyangkut budaya. Kebiasaan mengkonsumsi pangan. Untuk meningkatkan konsumsi ikan laut, dibutuhkan mengubah mindset dan cara pikir dalam memori kolektif masyarakat. Bagaimana caranya menghancurkan mitos bahwa memakan ikan laut membawa dampak buruk berupa cacingan dan gatal-gatal dan tidak baik dikonsumsi bagi ibu hamil. Penjelasan ilmiah akan kandungan protein dan asam lemak omega 3 tak mampu secara efektif menghancurkan mitos itu tadi.

Maka, tak mengherankan jika tingkat konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia hanya 54 gram per hari. Atau rata-rata 31,64 kilogram per tahun. Masih kalah dengan masyarakat Malaysia yang mencapai 55,4 kg. Bahkan hanya separuh dari konsumsi orang Jepang yang makan ikan hingga 100 kilogram per tahun.

Bagaimana mungkin Jepang yang hanya punya perairan seluas 3.091 km² dan luas daratanya 374.834 km² dapat menciptakan budaya makan ikan yang rakus. Menjelma menjadi mitos dan kepercayaan. Secara ekologis, perbandingan daratan dan perairan jauh rentangnya. Sedangkan Indonesia yang memiliki luas perairan 3,2 juta km² menjauh dari budaya makan ikan.

Saya katakan budaya, karena bangsa Jepangpun urusan mengkonsumsi ikan laut diselimuti mitos dan kepercayaan. Bagi bangsa Jepang mengkonsumsi namasu dan sashimi memang prestise. Menyangkut harkat dan status sosial. Menjadi bagian dari budaya yang melepaskan diri dari argumen ilmiah tentang kandungan yang terdapat dalam ikan.

Mengkonsumsi menu namasu identik dengan citra kebangsawanan. Terhubung dengan mitologi dewa masakan Iwakamutsukari-no-mikoto yang menghidangkan masakan khusus itu kepada kaisar Keiko yang bersedih atas kematian Yamato Takeru. Demikian juga mitos ikan tai (familia sparidae) yang dianggap sebagai lambang kemakmuran bangsa Jepang.
Jika ingin menyantap kuliner berbahan baku ikan yang dibalut dengan mitos bangsawan dan raja-raja, bumi Indonesia tak ada kurang-kurangnya. Seperti namasu tak jauh beda dengan kuliner ikan kohu-kohu dari Maluku. Dikonsumsi secara mentah. Bedanya, mamusu menggunakan wasabi, ikan kohu-kohu dimakan bersama dengan parut buah diatasnya. Hidangan ini khusus dahulunya untuk kalangan raja-raja di Ternate. Atau ikan Escolar yang hanya ada di perairan Sulawesi, yang menyadi santapan raja dan bangsawan kerajaan Gowa-Tallo. Makanya ikan Escolar disebut juga ikan Opu (para raja).

Tetapi kelas menengah perkotaan Indonesia lebih doyan mengunyah menu namasu atau sashimi. Hirau akan kuliner ikan kohu-kohu atau menyantap ikan Escolar. Hanya untuk menunjukan presites dan gaya hidup metropolis. Tak terkait dengan budaya konsumsi ikan laut. Budaya urban yang instan dan ikut-ikutan. Masyarakat perkotaan seperti di Jakarta mengkonsumsi ikan bukan mengasosiasikan dirinya sebagai bangsa maritim. Tetapi terjebak pada budaya bangsa Jepang yang gemar memakan ikan laut. Presitise dan status sosial akan terangkat jika sudah mencicipi menu namasu, sashimi, susshi atau tempura. Dan makin bertambah-tambah jika sudah mengkonsumsi tom yam (Thailand) atau canh chua cha (Vietnam). Padahal apa beda namasu dengan cakalang fufu dari Minahasa. Atau apa beda sashimi dengan pallumara dari Makasar yang sama berbahan baku ikan tongkol.

Dengan budaya konsumsi ikan yang rendah, tak heran jika masyarakat bahkan pemerintah tidak terlampau peduli dengan masalah perikanan di laut. Tak hirau dengan illegal fishing. Andaipun pasokan ikan dalam negeri tinggi, mau bilang apa jika konsumsi akan ikan laut masyarakat Indonesia rendah. Ujung-ujungnya eksport.

Hal ini bisa diperbandingkan dengan konsumsi nasi. Bagi kebanyakan orang -- walau tidak seluruh bangsa Indonesia--, apa yang disebut makan adalah mengkonsumsi nasi. Jika belum makan nasi, berarti belum makan. Meskipun sudah menelan dua potong roti dan perut jadi kenyang. Serasa ada yang hilang dan tidak lengkap, bila sehari tidak makan nasi. Ini tidak ada urusannya dengan asupan kalori dan karbohidrat. Tak peduli kenyang atau lapar. Walau sudah kenyang dan tercukupi asupan kalori pas giliran ditanya "sudah makan, nak?" jawaban umum "belum". Karena memang belum makan nasi.

Artinya, begitu besar bangsa ini tergantung pada nasi sebagai makanan pokok. Bahkan cara berpikir ini berubah menjadi mitos, jika tidak makan nasi bisa jatuh sakit. Penyakit busung lapar misalnya, bukan semata tidak tersedia stok beras atau tidak mengkonsumsi nasi. Tetapi, budaya makan nasi sulit untuk dikonversi Dengan bahan makanan pokok lainnya. Makan nasi sudah menjadi budaya. Menjelma menjadi mitos dan kepercayaan. Makanya Indonesia dikenal sebagai negara yang mengkonsumsi nasi terbesar di dunia. Berbanding lurus dengan derita diabetes yang juga besar di Indonesia.

Masalahnya bukan nasi atau ikan laut, keduanya penting sebagai asupan konsumsi. Tetapi urusan makan-memakan itu menyangkut budaya. Melintasi semua golongan, suku, agama, profesi dan pendidikan. Bisa diperbandingkan konsumsi ikan laut warga DKI Jakarta masih kalah jauh dengan warga Makasar. Dan yang tertinggi warga di provinsi Maluku. Bila permintaan dalam negeri dengan konsumi ikan laut yang begitu rendah, bagaimana orang harus peduli harta kekayaan lautnya berupa ikan dicuri oleh negara lain.

Jadi jangan dibalik bu Susi. Rendahya konsumsi ikan laut karena adanya praktek illegal fishing. Andai masyarakat Indonesia rakus memakan ikan laut, niscaya semua pihak akan peduli dengan illegal fishing. Sebagaimana jika terjadi kelangkaan stock beras, harga sembako naik dan beras import. Semua pihak ribut. Karena mayoritas bangsa Indonesia butuh makan. Dan yang namanya makan itu ya mengunyah nasi.

Sekali lagi, tidak mudah untuk mengubah mindset dan kesadaran semu dalam kolektif memory masyarakat. Suatu kesadaran yang menjauh dari kehidupan laut yang secara kodrati diberi oleh Sang Kuasa dua pertiga wilayahnya berupa perairan. Terbalik dengan bangsa Jepang, yang kodrat geografisnya lebih luas daratan ketimbang lautan, namun masyarakatnya rakus makan ikan laut. Semakin kuat urusan mengunyah hewan laut itu dihubungkan dengan mitos dan kepercayaan.
Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun