Mohon tunggu...
Hendra Sinurat
Hendra Sinurat Mohon Tunggu... Administrasi - Pengangguran

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Simalungun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

NKRI Bersyariah, Pancasila, dan Ruang Publik yang Manusiawi

1 Februari 2019   09:01 Diperbarui: 1 Februari 2019   09:38 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu apa yang ingin dikehendaki dengan adanya wacana serta seruan NKRI Bersyariah ini? Saya kira seruan pergantian ini tak lebih sebagai sebuah usikan dari dinamika (klasik) bernegara saja, terlebih konsep yang diserukan sendiri abstrak dan  tidak memiliki indeks yang terukur.

Dalam banyak kesempatan, Habib Rizieq memang menyangkal bahwa NKRI Bersyariah yang diserukannya bertentangan dengan dasar negara Indonesia.

Namun, mengingat kiprahnya dan kelompoknya yang relatif "dipersepsikan" intoleran dengan menilik rekam jejak mereka dalam posisi mengambil sikap sebagai "polisi moral" yang justru mengarah pada persekusi serta merepresi standard moral dalam hal kontrol pakaian terhadap masyarakat. 

Maka akan wajar muncul kekhawatiran soal gesekan horizontal dalam ruang publik kita yang heterogen nan kompleks. Hal yang tentunya menghambat tujuan tergapainya ruang publik yang manusiawi.

Pun demikian, mengingat NKRI dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika-nya adalah negara hukum demokratis sebagaimana diamanatkan pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD NRI 1945, saya kira semua wacana serta konsep sistem pemerintahan yang didengungkan dalam ruang publik berhak untuk diakomodir serta diberikan ruang terhadap berbagai bentuk ekspresi warga negara tentang konsep ideal negara, bahkan termasuk ekspresi dan wacana yang ingin mengingkari, merongrong, dan mengganti prinsip demokrasi itu sendiri. 

Kendati berbeda pandangan hidup dan agama, semua warga masyarakat adalah anggota yang setara dalam melaksanakan ekspresi dan aktivitas politik. Inilah bingkai khas NKRI dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika kita.

Tidak perlu "alergi" meresponsnya. Ini adalah konsekuensi logis dari paradoksalnya demokrasi, bukan? Dan, tentu saja, ekspresi dan wacana yang mengingkari demokrasi juga itu berhak untuk ditanggapi dan diuji.

Saya kira, ini adalah iklim sehat demokrasi yang ingin kita capai. Tak ayal, capaian ini akan menghasilkan ruang publik yang manusiawi.

Catatan Kaki:

Amin Arjoso (editor), Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pancasila, Tjamkan Panca Sila!, Yayasan Kepada Bangsaku, 2000.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun