Dengan seruan berkali-kali soal NKRI Bersyariah yang dikumandangkan Habib Rizieq, kita seolah dituntun untuk berpikir bahwa kondisi NKRI saat ini dipersepsikan tidak ramah dalam memberi ruang terhadap penerapan konten yang berdasarkan syariah atau keagamaan. Tentu saja ini keliru.Â
Tidak ada pertentangan terhadap keduanya. Dalam iklim masyarakat Indonesia yang heterogen nan kompleks dalam SARA ini, agama (dan kelompok tertentu) hanya dituntut melepaskan klaim sebagai yang satu-satunya memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup mana yang legitim.
Toh, meski NKRI dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika pada hakikatnya adalah sistem yang sekuler, namun ruang dan konten syariah (dan kegamaan lainnya) terakomodir, bahkan terlembagakan.Â
Dalam ruang publik informal/umum (di luar parlemen misalnya), pihak beragama diperkenankan mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam bahasa religius masing-masing yang khas.
Prof. George Mc. Turnan Kahin dari Cornell University Ithaka, New York mengatakan bahwa Pancasila adalah sintesa dari: Demokrasi Barat, Islam Modern, Marxisme, Demokrasi Rakyat Pedesaan dan Ide Komunisme yang mendominasi pikiran pokok mengenal Nasioanalisme. Beberapa sarjana Belanda juga berpendapat demikian.[1]
Dengan pengakuan ini, pada nyatanya Pancasila sebagai "jalan tengah" telah selaras dan mengharmonisasi berbagai sistem, termasuk konten "bersyariah" dan keagamaan.Â
Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm) sumber dari segala sumber hukum sebagaimana dituangkan pasal 2 UU No.l 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, turut memberikan ruang terhadap hadirnya konten peraturan-peraturan yang bernapaskan syariah.Â
Seperti UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang membidangi soal perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syari'ah di antara orang-orang yang beragama islam, maupun penerapan Perda Syariat yang ada di beberapa daerah.
Dalam hal kelembagaan, turut juga menjadi perhatian lebih dalam hal alokasi anggaran. Kementerian Agama berada pada peringkat 4 sebagai Kementerian yang menerima anggaran terbesar (Rp. 62,1 Triliun) pada APBN 2019, di atas Kementerian Kesehatan, KemenRistekdikti, dan Kemendikbud.
Praktis, dengan berkaca pada kenyataan ini, sesungguhnya NKRI Bersyariah sudah hidup secara proporsional di dalam NKRI dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu sendiri.Â
Maka tak heran bila organisasi masyarakat berbasis ke-Islaman yang lebih besar, lebih tua serta memiliki sejarah panjang dengan Indonesia, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah relatif masih menghendaki relevansi NKRI dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika nya saat ini.