Mohon tunggu...
Hendra Harahap
Hendra Harahap Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

Mahasiswa Pascasarjana, Magister Ilmu Politik FISIP USU

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Evaluasi Kepemiluan: Pilkada di Era Covid-19

24 Juni 2021   10:53 Diperbarui: 24 Juni 2021   10:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam era demokrasi, kompetisi dalam pemilu menjadi hal yang urgen untuk dilaksanakan, sebab dari rahim kompetisi semacam inilah yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang dipilih secara langsung sesuai kehendak rakyat. Pun dengan situasi saat ini, di tengah wabah pandemi Covid-19, proses demokrasi ini tidak boleh dikesampingkan, karena bisa jadi ia menjadi kunci dalam proses berkesinambungan terhadap kepemimpinan di daerah. Maksudnya, kontestasi di era ini berpeluang menjadi katalisator akan kemunculan inovasi-inovasi dalam penanganan Covid-19. Sebab, pertarungan pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota, yang nantinya memiliki kewenangan yang lebih powerful akan memancing para kontestan untuk berlomba-lomba menarik simpati masyarakat lewat terobosan-terobosan baru yang relevan dengan kondisi saat ini, misalnya dalam kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya sebagai respons atas situasi sekarang.

Benar bahwa usulan di muka bukan tidak memiliki resiko sama sekali. Dalam konteks kebencanaan, kita perlu sepakat bahwa pandemi Covid-19 adalah bencana luar biasa. Ini bukan seperti bencana asap, banjir atau longsor yang kita bisa cari sumber masalahnya. Jika kita menyepakati hal ini, pandemi harus diletakkan dalam kerangka tanggungjawab kita bersama.

Dalam situasi force major, kita harus memastikan pemenuhan tanggungjawab tersebut mulai dari puncak kepemimpinan tertinggi yakni Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai rakyat biasa punya tanggung jawab yang sama. Secara kolektif warga harus melakukan swa proteksi, sementara pemerintah harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan warga. Artinya, ini pekerjaan kolektif yang tidak bisa dibereskan oleh satu elemen. Lebih lanjut, pada konteks politik seperti pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukanlah satu-satunya pihak yang memiliki tanggung jawab tunggal di dalam penyelenggaraan pemilu saat pandemi, akan tetapi seluruh elemen masyarakat mempunyai kewajiban yang sama.

Isu: Sebuah Manifesto di tengah Pandemi

Jauh sebelum pandemi hadir, kontestasi politik di pemilu serentak tahun 2020 diyakini akan menjadi kompetisi politik yang sangat menarik. Setidaknya ada 2 hal yang menjadikan pemilu 2020 kali ini menarik. Pertama, di pemilukada 2020 merupakan pemilu pertama sejak berakhirnya pilpres di tahun 2019 dan pasca bergabungnya oposisi ke dalam pemerintahan. Ini akan menjadi menarik untuk mengukur apakah dengan meleburnya rivalitas di tingkat elit akan berpengaruh di tingkat grass roots. Kedua, pemilukada tahun 2020 diyakini akan menghadirkan calon-calon muda pemimpin  daerah. Tapi apa daya, di tengah harapan menyaksikan suguhan yang menarik tadi, pandemi covid-19 datang yang mengingatkan kita pada pepatah "Langit tak selamanya cerah, kadang hujan pun bisa membawa bencana dan perasaan juga sering kali bisa terluka".

Dampak pandemi bukan hanya berimbas pada sektor ekonomi, tetapi juga kelangsungan demokrasi. Komposisi tahapan pemilu 2020 akhirnya diubah dari kesepakatan awal maret 2020 menjadi 9 Desember 2020. Isu baru akhirnya hadir muncul ke permukaan. Isu-isu yang hadir menjadi gambaran nyata masyarakat di masa pandemi. Jika salah mengeja, bencana akan terbaca bejana, atau kencana. Dua kata benda yang belum tentu ada hubungannya. Namun, jika bisa menjadi satu rangkaian kata cerita jika ada narasi. Begitu pun dengan isu yang muncul, jika partai politik dan calon kepala daerah salah dalam membaca kondisi masyarakat maka kualitas pemilukada ditengah pandemi akan menjadi taruhan.

Jika isu-isu politik saat kondisi normal di Indonesia selalu dihadirkan pada isu-isu yang normatif seperti: Money politics, politisasi birokrat daerah, sara, dan hoaks. Masing-masing akan saling berkaitan dalam situasi politik pragmatis. Maka kali ini, pandemi menjadi disleksia bencana yang menghadirkan isu-isu baru. Disleksia bencana dalam konteks pemilu melahirkan isu, pertama, bagaimana melindungi kesehatan versus menjaga demokrasi, kedua, partisipasi politik, ketiga menguatnya calon tunggal dan keempat malpraktik pemilu.

Tarik ulur jadwal pemilukada serentak tahun 2020 menggeliatkan, isu tentang melindungi kesehatan versus menjaga demokrasi, politik versus kesehatan. Perdebatan ini menguap ke pelataran publik, yang akhir-akhir ini diskusinya sudah melebar dan tidak lagi memuat argumen-argumen yang proper. Sebab, bagi penulis, keduanya (kesehatan dan politik) justru saling berhubungan, politik, sejak kata ini didefinisikan oleh Socrates hingga Voltaire, dari Nelson Mandela sampai Soekarno, juga adalah proyek menyelamatkan nyawa manusia. Walaupun, relasi ini, di lapangan bukannya tanpa masalah, yang akan dijelaskan di poin kedua dan setererusnya.

Kedua, partisipasi politik, konsekuensi lainnya di tengah pandemi adalah keterbatasan hubungan secara konvensional. Dengan tantangan tersebut, setiap calon harus menjalankan strategi yang revolusioner untuk menarik minat masyarakat untuk hadir pada 9 Desember 2020 mendatang. Ketiga, menguatnya calon tunggal di daerah, fenomena calon tunggal di masa pandemi menjadi isu yang menguat. Ini tidak bisa dilepaskan dari intervensi kekuasaan oligarki politik untuk mengambil kesempatan di masa pandemi menjadi sebuah peluang dalam pengelolaan daerah.

Keempat, Potensi malpraktik, isu ini menguat pada pemilukada 2020 dan menjadi perhatian tersendiri, mengingat tahap verifikasi syarat dukungan calon perseorangan juga tidak sedikit. Belum lagi kesensitifan verifikasi untuk menentukan apakah kontestan tersebut lolos atau gagal untuk maju ke pilkada. Problem lain yang bisa menimbulkan malpraktik pada pemilukada 2020 ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih.

Persoalan ini menjadi salah satu isu krusial dalam sejarah pemilu di Indonesia karena basis data pemilih selalu berbeda dan tidak sama, sehingga sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dengan peserta pemilu (termasuk pilkada). Salah satu tingkat kesulitan dalam pemilukada mendatang ialah apabila pandemi tidak usai, bagaimana dengan pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah provinsi dan/atau kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada.

Potensi malpraktik berikutnya adalah pada saat penghitungan suara. Masih segar di ingatan kita terkait sengketa ini di pemilu 2019 lalu. Untuk menyiasatinya, peserta pemilu 2020, baik calon dari partai maupun perseorangan, harus memenuhi keperluan untuk menyediakan saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Psikologi pemilih untuk menjaga jarak sosial dalam masa PSBB bisa menjadi kendala bagi munculnya pengawasan yang sifatnya partisipatif. Selain itu, pada situasi sulit di tengah PSBB bisa jadi calon juga kesulitan mencari saksi, dan situasi yang sama juga bisa dialami oleh pengawas pemilu di daerah.

Keempat isu ini dianggap sebagai tantangan yang mau tidak mau harus segera diatasi saat memasuki kompetisi elektoral di masa pandemi. Agar kompetisi elektoral semakin menarik di tengah pandemi setiap peserta pemilu harus mampu memberikan kontribusi nyata, tanggungjawab dan program kerja yang solutif untuk menjawab kebutuhan masyarakat selama pandemi.

Peluang

Dalam situasi tengah pandemi, setidaknya ada 2 peluang yang bisa dimanfaatkan yakni: Peluang secara sosial-politik dan Peluang sosial-ekonomi. Kondisi yang sulit di tengah pandemi tentu tidak memungkinkan bagi calon untuk mengumpulkan massa di lapangan terbuka. Dan ini sangat menguntungkan dari sisi kedekatan calon pemimpin dan masyarakatnya. Sebab, permasalahan mendasar dari kompetisi elektoral selama ini adalah terjadinya jarak antara kandidat dengan masyarakat, penyampaian pesan politik ke masyarakat selalu diperankan oleh tim sukses. Kondisi pandemi saat ini memberikan peluang kepada kandidat dan masyarakat untuk menjalin komunikasi dengan lebih dekat, dengan segala keterbatasan interaksi terbuka maka peluang untuk "ketuk pintu" atau door to door mutlak harus dilakukan oleh kandidat jika ingin memenangkan kompetisi elektoral di tahun 2020.

Peluang selanjutnya tidak terlepas dari peluang ekonomi, harus ditegaskan bahwa pemilu di tengah pandemi tidak bisa dilepaskan dari protokol kesehatan, dan anggaran pemilu wajib dialokasikan pada pemenuhan APD, Masker, Hand sanitizer dan sebagainya. Kebijakan ini membuka peluang bagi keberlangsungan usaha kecil untuk memproduksi perlengkapan tersebut di daerah sehingga ekonomi kerakyatan bisa tetap berhidup.

 Di tengah segala kesulitan yang ada, pilihan negara demokratis seperti Indonesia, bukan tanpa tanggungjawab dan konsekuensi-konsekuensi logis. Kita percaya bahwa ditengah kerja keras melawan pandemi, kita juga harus menjalankan demokrasi yang berkualitas. Sebab, dalam kondisi force major demokrasi sebagai salah satu alat untuk melahirkan pemimpin yang berkelanjutan, dan sebagai pernyataan untuk optimisme publik.

            * Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana, Magister Ilmu Politik FISIP USU Angkatan 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun