Saya tidak tahu persis kapan tanaman ini mulai ada. Saya kelupaan mencatat, namun metafile foto menunjukkan di bulan ketujuh 2022 ia mulai berbunga. Menurut teori, cocoknya ia ditanam pada lahan dengan ketinggian 800 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Jadi kalau kontur tanah Surabaya yang datar dan panas, ini bisa jadi tantangan tersendiri.
Biji yang tumbuh ini kemungkinan besar berasal dari sisa bahan masakan yang ikut terbuang. Sebab saya tidak merasa menanamnya dalam wadah khusus. Tahu-tahu tumbuh dan terus membesar di wadah bekas air mineral 1,5 liter yang berisi tanah. Waktu itu, wadah ini hanya sebagai persiapan saja, tapi belum terpikir untuk tanaman apa.
Labu Kuning atau sebut saja Waluh, yang belakangan juga saya baru tahu berkat bantuan teman-teman lewat media sosial, butuh kondisi tanah yang tidak aneh-aneh.Â
Namun secara literatur, lebih cocok berjenis aluvial berhumus, tanah yang gembur kering bekas rawa, tanah andosol, tanah merah, dan tanah grumosol. Derajat keasaman juga cenderung asam, yaitu pH sekitar 5 hingga 5,6. Selain juga ia butuh paparan cahaya yang cukup.
Bertanam Sendiri
Nah, jika ingin mencoba menanam sendiri, ada teknik sederhana yang bisa dilakukan. Pertama soal bibit, lakukan perendaman untuk melakukan seleksi. Biji yang tenggelam kualitasnya lebih baik dan layak untuk ditanam. Sementara yang meengapung, sebaiknya dibuang atau tidak dipakai.
Biji Waluh yang ditanam ini cukup cepat tumbuhnya. Sebagai tanaman menjalar, maka ia perlu bantuan lanjaran supaya pertumbuhannya lebih baik. Namun dibiarkan merambat pun tak masalah. Asal bisa mengatur arah pertumbuhannya, supaya tidak menghabiskan tempat dan mengalahkan keberadaan tanaman lainnya (jika ada).
Supaya hasil buahnya lebih baik, "tunas air" alias percabangan-percabangan yang ada perlu diatur. Tidak perlu banyak-banyak karena nutrisi habis dengan pertumbuhan batang, bukan disimpan pada buah. Jadi tidak perlu sayang untuk memangkas atau memotongnya.