Waluh, demikian orang Jawa biasa menyebut secara ringkas tanaman/buah ini. Namun sebenarnya dalam bahasa Indonesia, setidaknya dikenal dua jenis berdasarkan warnanya: kuning dan putih.
Labu Kuning paling lazim dibuat campuran kolak. Namun bisa juga diolah untuk membuat kue (bolu), bubur, puding ,atau olahan makanan lainnya .
Sementara labu putih ada dua jenis. Pertama, berbentuk panjang, yang disebut "Labu Air". Biasa dipakai untuk campuran sayur, misalnya bayam (disebut juga "sayur bening"). Secara tradisional, juga bermanfaat untuk penurun panas (diparut dan diminum airnya, ampasnya ditaruh di dahi). Kedua, berbentuk seperti buah apukat, yang disebut "Labu Siam". Pemanfaatannya juga untuk campuran sayur atau kadang buat tambahan masakan rawon.
Tanaman Impor yang Berkhasiat
Walaupun keberadaannya cukup populer di tanah air, namun Labu Kuning sebenarnya berasal dari benua Amerika, terutama Meksiko. Orang luar negeri menyebutnya  Pumpkin.
Tumbuhan merambat ini dalam sehari kecepatan pertumbuhannya bisa menghasilkan sekitar 350 gram. Â Berbentuk semak yang menjalar ke atas.
Adapun bentuk buahnya bulat pipih. Berwarna hijau jika masih muda. Lalu berangsur berwarna kuning orange sampai kuning kecokelatan jika sudah berusia tua.
Labu kuning punya banyak manfaat. Antara lain adalah: melancarkan sistem pencernaan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menjaga kesehatan tulang, mencegah penyakit kanker. Juga untuk: menjaga kesehatan pernafasan, meredakan stres dan meningkatkan mood, menurunkan risiko penyakit hipertensi, mencegah penyakit diabetes, menjaga kesehatan kulit.
Gampang Tumbuh
Saya tidak tahu persis kapan tanaman ini mulai ada. Saya kelupaan mencatat, namun metafile foto menunjukkan di bulan ketujuh 2022 ia mulai berbunga. Menurut teori, cocoknya ia ditanam pada lahan dengan ketinggian 800 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Jadi kalau kontur tanah Surabaya yang datar dan panas, ini bisa jadi tantangan tersendiri.
Biji yang tumbuh ini kemungkinan besar berasal dari sisa bahan masakan yang ikut terbuang. Sebab saya tidak merasa menanamnya dalam wadah khusus. Tahu-tahu tumbuh dan terus membesar di wadah bekas air mineral 1,5 liter yang berisi tanah. Waktu itu, wadah ini hanya sebagai persiapan saja, tapi belum terpikir untuk tanaman apa.
Labu Kuning atau sebut saja Waluh, yang belakangan juga saya baru tahu berkat bantuan teman-teman lewat media sosial, butuh kondisi tanah yang tidak aneh-aneh.Â
Namun secara literatur, lebih cocok berjenis aluvial berhumus, tanah yang gembur kering bekas rawa, tanah andosol, tanah merah, dan tanah grumosol. Derajat keasaman juga cenderung asam, yaitu pH sekitar 5 hingga 5,6. Selain juga ia butuh paparan cahaya yang cukup.
Bertanam Sendiri
Nah, jika ingin mencoba menanam sendiri, ada teknik sederhana yang bisa dilakukan. Pertama soal bibit, lakukan perendaman untuk melakukan seleksi. Biji yang tenggelam kualitasnya lebih baik dan layak untuk ditanam. Sementara yang meengapung, sebaiknya dibuang atau tidak dipakai.
Biji Waluh yang ditanam ini cukup cepat tumbuhnya. Sebagai tanaman menjalar, maka ia perlu bantuan lanjaran supaya pertumbuhannya lebih baik. Namun dibiarkan merambat pun tak masalah. Asal bisa mengatur arah pertumbuhannya, supaya tidak menghabiskan tempat dan mengalahkan keberadaan tanaman lainnya (jika ada).
Supaya hasil buahnya lebih baik, "tunas air" alias percabangan-percabangan yang ada perlu diatur. Tidak perlu banyak-banyak karena nutrisi habis dengan pertumbuhan batang, bukan disimpan pada buah. Jadi tidak perlu sayang untuk memangkas atau memotongnya.
Perawatan lain tentunya adalah melakukan penyiangan atau pencabutan gulma atau rumput liar di sekitar tanah pada tanaman ini. Juga penambahan pupuk dan rajin-rajin membuang percabangan serta daun-daun yang sudah mengering.
Waluh ini bakal buahnya rupanya ada yang berjenis jantan dan betina pada satu tanaman. Pembuahan ini bisa terjadi secara alami atau dengan bantuan tangan manusia.
Secara alamiah dia bisa berbuah sendiri, namun jika faktor cuaca mendukung. Misalnya jika kecepatan angin yang tinggi dan curah hujan yang lebat, faktor kegagalan lebih tinggi. Butuh kesabaran ekstra juga jika tumbuhnya Waluh ini berada di alam terbuka.
Jika ada campur tangan manusia, perlu ketepatan dan kehati-hatian juga. Sari bunga betina dipotong pangkalnya dan dioles-oleskan pada bunga jantan. Sudah, begitu saja teorinya. Pagi hari antara pkl. 6-7, sebab di atas jam tersebut intensitas cahaya matahari sudah cukup kuat untuk melayukan bunga yang mekar.
Pada umumnya pemanenan ini bisa dilakukan ketika tanaman sudah berusia 60 hari setelah masa tanam. Â Namun waktu yang tepat ada pada kisaran 80 hari setelah tanam. Pemanenan dapat dilakukan secara bertahap 1-2 bulan kemudian.
Nah, berhubung saya membiarkan tanaman Waluh ini tumbuh apa adanya, usianya bisa mencapai sekitar 8 bulan. Dan baru pada minggu pertama Maret ini bisa mendapatkan buahnya kali pertama.Â
Prasyarat buah ini bisa dipetik (dipanen) adalah ketika batangnya sudah mengering. Dan persis seperti itulah keadaannya. Sementara, bakal buah lainnya sudah berguguran terlebih dulu. Musim hujan telah menandaskannya.
Wuiks, lama banget, ya...Pantas saja harga di pasar lumayan agak tinggi. soalnya perawatannya juga cukup ekstra dan harus sabar. Makanya, ia kadang dijual per-potong kalau ukurannya ekstra gede.Â
Ya, lumayanlah meskipun kali ini cuma dapat satu, haha.... Tetap harus disyukuri, ya... :).Â
Oke, selamat mencoba buat yang kepengin menambah pengalaman baru.
Hendra SetiawanÂ
6 Maret 2023 Â
*) Sebelumnya, tulisan versi puisi: Â Tujuh Purnama Menanti Hasil Buah Pertama
**) Bacaan: Â AgriKompas, Â PakTaniDigital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H