Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Melawan Pelecehan Seksual di Transportasi Publik

23 Februari 2023   17:00 Diperbarui: 24 Februari 2023   17:31 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disuka atau tidak, transportasi publik dibutuhkan. Namum bagi orang-orang tertentu, apalagi yang pernah mengalami kasus yang tidak menyenangkan, bisa menjadi trauma psikis. Malas, ogah, tak mau lagi memakai jasa yang sama. Misalnya, pernah mengalami pencopetan, penipuan, perampasan, atau pelecehan secara seksual. Tidak mudah untuk melupakan peristiwa tersebut.

Di media sosial baru-baru ini juga viral, seorang karyawati lebih memilih resign dari kantornya demi menghindari KRL yang ia tumpangi berhenti di salah satu stasiun di Jakarta. Horor dan tidak tahan setiap hari harus mengalami hal tersebut. Ia mengaku tersiksa dan lebih memilih menjaga kesehatan mentalnya (sumber1).

Hal yang mirip terjadi dialami oleh H, dalam status-nya di media sosial twitter (sumber2) yang juga viral pada Senin, 20/2/2023 lalu. Kronologis ceritanya ternyata memunculkan fakta yang memiriskan. Para penanggapnya, yang kebanyakan kaum hawa itu juga ikut bersuara. Ternyata ada pula yang pernah mengalami kasus serupa pada waktu-waktu sebelumnya. Hanya saja mereka tak berani bersuara dan bertindak pada saat kasus terjadi.

Jadi ditengarai, kasus yang dialami H di sarana transportasi bus trans ibukota itu sudah terjadi sejak lama. Dilakukan oleh orang yang sama pula. Modusnya adalah ketika penumpang transportasi umum sedang ramai-ramainya. Berjubel, berdesakan, jam sibuk. Menjadi alasan yang masuk akal untuk mencari 'mangsa', melampiaskan hasrat.

Kerjasama dan Lawan

Kewaspadaan diri adalah salah satu faktor yang wajib dimiliki bagi setiap pengguna jasa transportasi publik. Bukan berarti lantas menjadi curiga kepada setiap orang yang bersama-sama dengannya di dalam transportasi publik  kala itu.

Tidak! Justru sikap ini akan memperburuk diri sendiri karena 'parno' (paranoid). Namun dalam arti lebih ke arah hati-hati, demi menghindari terjadinya tindakan pelecehan seksual. Misalnya tidak sibuk dengan gadget sendiri, sehingga tak memperhatikan kondisi di sekitarnya.

Tindakan pelecehan seksual di transportasi umum seperti yang dialami oleh H atau yang lainnya seperti dalam kasus di atas, perlu dicegah dan dilawan bersama-sama. Bukan oleh si korban sendiri, yang terkadang juga tak berdaya di saat kejadian berlangsung.

Kampanye bersama soal pelecehan seksual anyata KAI dan Komnas Perempuan (foto via suarasurabaya.net)
Kampanye bersama soal pelecehan seksual anyata KAI dan Komnas Perempuan (foto via suarasurabaya.net)

Panik, bingung, tak bisa berpikir jernih, seperti orang linglung, tak punya daya melawan, merasa rendah diri, dan lain-lain. Kondisi psikis yang kadang tak dimengerti oleh orang lain yang tidak berada di posisinya saat itu. Sehingga kerap terjadi pernyataan menyudutkan, yang justru malah menyakitkan bagi korban."Kok tidak dilawan, Mbak?!"

Justru pada saat seperti inilah, bantuan bersama orang-orang di sekitarnya perlu dan amat dibutuhkan. Mungkin saja tak bisa secara frontal, langsung berhadapan. Namun dengan cara lain, misalnya menandainya lewat kamera hape, merekam (mendokumentasikan) pelaku. Hal ini bisa menjadi salah satu bukti dan alat tekan (pressure) bagi pemangku kepentingan untuk bisa bertindak lebih jauh, demi perbaikan sektor pelayanan publik yang dised.  

Mengutip hasil Survei Nasional Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang rilis pada 27 November 2021, mencatat ada 48,9%  alias satu dari dua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Sedangkan laki-laki yang pernah mengalami perkara serupa adalah 27%, atau satu dari setiap lima laki-laki. Survei ini dilakukan dengan responden sebanyak 62.224 orang dari berbagai usia, tingkat pendidikan, gender, identitas, dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Selain itu, KRPA juga menemukan 19 bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di transportasi umum. Di antaranya adalah siulan/suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, serta komentar seksual yang gamblang, seksis, dan rasis. Kemudian main mata, difoto secara diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif, diikuti/dikuntit, hingga disentuh, diraba, dan digesek dengan alat kelamin.

Kolase twit dan balasan kasus pelecehan seksual yang diunggah @everfIawIess
Kolase twit dan balasan kasus pelecehan seksual yang diunggah @everfIawIess

Kewaspadaan Dini

Secara normatif ada berbagai bentuk tips atau cara menghindari pelecehan seksual di transportasi umum ini. Misalnya bersikap tegas terhadap pelaku catcalling (panggilan yang memiliki tendensi ke arah pelecehan seksual). Ini harus diperlihatkan dengan sungguh-sungguh. Bukan diam semata, namun menunjukkan ketidaksukaan atas perlakuan ini.

Hindari tidur atau cari posisi duduk yang tepat. Ya, ini bisa dilakukan kalau dalam situasi normal. Justru studi kasus dalam hal ini terjadi dalam hal sebaliknya. Sarana trasportasi umum dijejali banyak pengguna, situasi ramai. Dan di sanalah peristiwa pelecehan seksual terjadi.

Bisa juga, khususnya kepada kaum perempuan, untuk berpakaian yang sopan. Namun, nyatanya hal ini juga tak terlalu signifikan. Berpakaian model tertutup, memakai celana panjang, baju terusan, tak menjadikan bebas dari ancaman.

Artinya, model pakaian yang dikenakan wanita tidak serta merta menjamin baginya untuk tidak terkena pelecehan seksual. Pelaku tidak memilih korban hanya berdasarkan pakaian semata. Seperti adagium hukum, kejahatan itu timbul karena adanya niat dan kesempatan di waktu tertentu.

Justru "orang normal" tidak akan mengenakan model pakaian "terbuka, vulgar atu seksis" di dalam transportasi umum. Justru mereka akan mengenakan pakaian yang senyaman mungkin untuk dapat bebas bergerak. Sorotan publik justru lebih dihindari.

Stereotip bahwa kaum wanita sendiri yang memberikan kesempatan, umpan kepada pelaku untuk bisa melakukan tindakan pelecehan seksual, sejatinya adalah bentuk lain dari pelecehan  itu sendiri. Seolah-olah si wanita menginginkan keadaan tersebut terjadi.

Alat pertahanan diri (APD) dalam keadaan terpaksa dan darurat bisa jadi sebagai alat bantu mengatasi tindakan pelecehan seksual. Apalagi jika tak ada orang lain di sekitar yang dapat diminta pertolongan dengan segera.

Tentu APD  itu bukanlah semacam sajam (senjata tajam), tapi bisa benda yang berukuran kecil seperti jarum pentul, peniti, bubuk merica/cabai. Pendeknya, bisa melumpuhkan pelaku secara kilat.

Hal itu bisa diimbangi dengan kemampuan dasar beladiri. Melatih keberanian dalam  menghadapi tindak kejahatan khususnya aksi pelecehan seksual.

Transportasi Publik Aman dan Nyaman

Menilik kasus pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum, yang sepertinya terulang demikian, justru menjadikan PR bagi penyedia bagi jasa layanan publik seperti ini. Bukan cuma pengguna jasa yang perlu mendapatkan perhatian.

Beberapa cara yang dapat dilakukan misalnya:

1. Memperbanyak frekwensi dan jumlah tranportasi publik

Hal ini untuk menghindari penumpukan jumlah penumpang pada jurusan-jurusan tertentu yang padat peminatnya. Sebab kasus pelecehan seksual peluangnya lebih besar terjadi justru ketika kondisi penumpang transprtasi umum sedang dalam kondisi padat.

2. Pemasangan CCTV

Keberadaan CCTV dewasa ini dibutuhkan sebagai alat bukti sebuah peristiwa. Juga menjadi sarana pengawasan terhadap segala tindakan yang dilakukan para pengguna transportasi itu sendiri.

Paling tidak, dengan CCTV, para pelaku kejahatan akan berpikir ulang dengan melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan hukum dan kesusilaan. Aksinya bisa ketahuan. Apalagi model terkini CCTV kian canggih, bisa mendeteksi wajah walau tertutup masker sekalipun.

3. Helper atau petugas

Kehadiran petugas, crew, helper, atau sebutan lain dalam transportasi publik, setidaknya bisa memberikan atau meningkatkan rasa aman dan nyaman bagi penggunanya. Minimal mereduksi kejadian yang tak menyenangkan yang mungkin dialami oleh pengguna jasa.


Di luar itu, pemberian efek jera kepada pelaku juga pantas untuk dilakukan. Blacklist identitas pelaku untuk tidak bisa mempergunakan transportasi umum yang sama. Atau mungkin pemasangan foto pelaku di pintu masuk areal tempat transportasi umum itu berada. Atau cara-cara lain yang bisa dianggap lebih efektif dan efisien.

Kalau transportasi publik digadang-gadang sebagai solusi kemacetan, mengurangi dampak pemanasan global, maka perlu pula kebijakan yang mendukung keamanan dan kenyamanannya pula. Cepat tanggap terhadap persoalan yang sedang terjadi. Agar keberadaannya makin dicintai oleh penggunanya.

Hendra Setiawan

23 Februari 2023

Bacaan:  Kompas,  Asumsi,  Liputan6,  Fimela,  KataData

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun