Bagaimana dengan sistem ujian dan nilainya? Gampang, bisa diatur dan dikatrol hasil akhirnya. Mau mendapat nilai berapa, bisa dibuatkan.
Tak harus catatan nilai studi mendapat skor yang paling tinggi, karena justru bisa terendus ketidakwajarannya. Terpenting, tak menyolok bagi yang melewati jalur biasa. Tau-tau ada jadwal lulus dan bisa ikut wisuda. Sah menyandang gelar baru sesuai yang diinginkan.
Praktik gelap atau terang benderang seperti ini, santer terdengar bukan hanya di akhir-akhir ini semata. Sudah lama terjadi sejak dasawarsa yang lalu-lalu. Timbul tenggelam.
Berani Jujur
Nama baik dan mutu dunia akademis tentu tercoreng namanya dengan terbongkarnya kasus guru besar atau dosen yang ternyata hanya menjadi plagiator sebuah karya ilmiah.Â
Pendek kata, ia hanya menitipkan namanya semata, tapi tak mau berproses sendiri bagaimana karya itu bisa terbentuk menjadi demikian.
Jasa calo ternyata ada juga dalam dunia akademis seperti ini. Mereka pintar, dengan cara memanfaatkan sekelompok orang malas dalam berproses ilmiah, yang pada sisi lain ditengarai punya dana berlebih.
Akhirnya... imbasnya kepada para murid baru, mahasiswa yang sedang belajar darinya. Ilmunya miskin, tak sebanding dengan rentetan gelar yang disandangnya. Sebab pengetahuan yang dimilikinya tidak lahir dari pengalaman empiris yang dialaminya sendiri.
Tentu untuk memberantas ini semua juga tak semudah membalik telapak tangan. Karena fenomena seperti ini ibarat simbiosis mutualisme. Sama-sama merasa diuntungkan, baik pencari maupun pemberi jasa.
Maka, jadi teringat kembali pada cerita di awal tadi. Jangan terpana pada good looking-nya; dengan ragam deretan gelar yang mentereng. Lihatlah juga pada perilaku, budi pekerti, good attitude yang dimilikinya.
Nah jika prinsip seperti ini mampu dimiliki setiap orang yang mau terjun ke dunia akademis, niscaya dari sana juga lahir para sarjana yang berkepribadian baik, mumpuni dan berkualitas. Sebab mereka harus menjalani setiap prosesnya dengan cara yang baik dan benar pula.