Sharing pengalaman itu, pada sisi lain bisa terjadi yang sebaliknya. Ada sementara orang yang begitu bangga apabila pada namanya tercantum deretan gelar. Orang lain bisa membacanya secara terkagum-kagum.
Bisa jadi gelar itu tak hanya satu dua, sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya dari dasar. Namun bisa pula bermacam-macam. Beda jurusan dari ilmu yang ditekuni pada mulanya. Makin panjang dan beragam, makin bangga dia.
Pada kasus seperti ini, nampaknya kalau dikuliti lebih jauh lagi, bisa jadi karena tuntutan pekerjaan. Misalnya seorang pendidik, minimal kini harus satu tingkat lebih tinggi dari tingkatan sekolah yang diajarnya.
Jadi kalau mengajar S1, ya gelarnya tak lagi boleh setara dengan calon mahasiswa yang S1 juga. Maka, mereka dituntut untuk mendapatkan tingkatan gelar yang lebih tinggi lagi, minmal S2. Satu jenjang tingkat di atasnya.
Atau bisa juga ada alasan khusus yang lainnya. Berguna untuk kenaikan karir atau mendapatkan posisi di jabatan khusus yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ada kewajiban bagi seseorang jika menginginkan porsi tersebut, gelarnya harus yang sesuai. Tidak bisa yang hanya standar umum semata.
No problemo kalau alasannya demikian. Sah dan wajar...
Nah yang jadi masalah kemudian, yang mencoreng nama baik akademisi adalah ketika gelar-gelar ini akhirnya menjadi ajang bisnis. Orang dengan jalan pintas mau membayar bea jasa berapapun nilainya (atau bisa nego) asal pada namanya dapat ditambahkan titel yang baru.
Pasar Terbuka
Ada uang ada barang. Persis seperti hukum ekonomi hal ini muncul. Orang membutuhkan gelar. Ada perguruan tinggi yang menawarkan gelar tersebut.
Namun kendalanya adalah soal lamanya waktu kuliah normal dan proses yang harus ditempuh. Dianggap terlalu lama, boros, tidak efisien dengan kecepatan praktik dunia kerja.
Maka... ketemulah cara sebagai jembatannya. Kewajiban masuk kuliah tiap hari bisa diakali dengan program khusus alias percepatan. Waktu tatap muka on class antara dosen dan mahasiswa tak perlu berlama-lama lagi. Jadi kelasnya eksklusif dan prioritas.