dosen. Bukan favorit sih, tapi kalau mengajar, ilmunya seperti sudah di luar kepala. Gaya bahasanya cukup tenang, tidak berapi-api.
Semasa masih kuliah dulu, kami punya seorangDalam satu kesempatan tatap muka di kelas, ia menceritakan kebanggaan atas gelar kesarjanaan yang disandangnya. Â Tidak banyak, cuma satu tambahan di belakang namanya.
Walaupun terkesan jadul demikian, hanya lulusan S1. Tidak seperti sejawat dosen lainnya yang gelarnya sudah berderet di belakang nama aslinya. Ia tetap merasa berbangga hati.
Salah satu alasan kebanggaan itu adalah karena pemberian gelar akademis itu, secara legalitas peraturannya diteken oleh Presiden I RI Sukarno. Entah, mungkin karena nge-fans kali, ya hehe...Â
Berbeda dengan aturan terbaru kini, yang gelar kesarjanaan cuma dikukuhkan oleh Menteri Pendidikan. Ya, tentu saja jelas beda tingkat vertikal lembaga kenegaraan.
Pada kisah lainnya, ia berharap agar mahasiswa jangan menilai kebanggaan seseorang sebatas dari berapa banyak gelar yang disandangnya semata. Lihat juga isi kepalanya. Dari pengajaran yang diberikan mereka.
Bukan sok-sok'an alias gaya-gaya'an, namun untuk menghadapi orang dengan sederet gelar yang melebihi dirinya pada masa kini, bukanlah hal yang perlu ditakuti. Merasa jadi minder. Bukan itu maksudnya.
Walaupun ia hanya lulusan sekolah pada bidang ilmu yang sama. Namun lulusan tempo dulu, menurutnya mendapatkan didikan yang jauh lebih bermutu. Tidak sekadar bisa lulus dengan hanya mengandalkan nilai minimun semata.
Ada attitude, moral, karakter, nilai humanis yang ditanamkan kepada mahasiswa. Kualitas yang amat dibutuhkan dalam menghadapi praktik 'liar' keilmuan di dunia nyata.
Jadi lebih dari sekadar bahan ajar yang bisa dihafal dan dipelajari. Warisan keilmuan yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Ada nilai plus untuk pembentukan karakter dari para calon sarjana.
Anomali