Natalan Tanpa Tenda? Tak Semudah Itu Melaksanakannya
Terkait dengan momentum Natal 2022 kali ini. Sekitar jam 8 malam kemarin (Jumat, 16 Desember 2022), saat lagi santai browsing berita lewat hape, tetiba mata tertuju pada salah satu tema. Tentu saja masih hangat-hangatnya. Masih beberapa jam lalu diunggah, begitu info kecil yang tertera di layar.
Isinya cukup menarik untuk dibahas, walaupun bisa jadi ada yang berpendapat sebaliknya. Bukankah ini hal yang remeh dan tak penting-penting amat?
Apa sebenarnya intisari dari berita tersebut? Point pertama adalah kabar baik bahwa Natal tahun ini boleh dilaksanakan pada batas maksimal 100%.  Poin kedua adalah soal "larangan mendirikan tenda bagi masyarakat yang ingin melakukan kegiatan ibadah Natal."
Nah ini berarti walaupun pelaksanaan ibadah Natal 2022 diperbolehkan dalam batas maksimal 100 persen dari kapasitas gereja (tempat ibadah). Namun begitu, untuk menambah kapasitas jumlah jemaat yang hadir, tidak diperkenankan untuk menambahkan tenda di luar sebagai peribadatan.
Ketentuan itu disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas setelah menggelar rapat koordinasi bersama kementerian dan lembaga di Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta Selatan, pada Jumat, 16 Desember 2022. Rapat ini sendiri dipimpin oleh Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo. Alasan pemberlakuan ini dikarenakan Indonesia masih dalam kondisi PPKM level 1.
Sederhana tapi Tak Mudah
Menyikapi aturan ini tentu saja tak mudah untuk menjalankannya serta merta. Apalagi waktu ibadah Natal sendiri kurang H-7 dari pelaksanaannya, yang dimulai serentak pada Malam Natal, 24 Desember 2022.
Begini, gambaran bagi yang non-kristiani untuk memahaminya. Tentu ini adalah gambaran keadaan atau dalam kondisi yang "normal". Bukan pada tempat-tempat yang punya "bermasalah", yang terkait soal isu intoleransi atau kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Bagi gereja-gereja yang jumlah jemaatnya "besar". Ambil contoh seperti Gereja Katolik di Jakarta (yang selalu dapat "jatah" peliputan berita) atau level sedikit di bawahnya . Bisa disaksikan bahwa di sana akan terdapat tambahan tenda yang berada di sekitar bangunan gedung utama gereja.
Halaman parkir yang ada di sekitar area tempat ibadah, biasanya akan disulap menjadi tempat tambahan untuk pelaksanaan ibadah malam Natal dan Natal. Tentu saja jumlah jemaatnya akan membludak. Lebih dari ibadah minggu-minggu biasa pada umumnya. Overload, over capacity, itu pasti!  Lha wong namanya juga hari raya.
Mudik ala Kristen
Jika umat muslim di Indonesia punya tradisi mudik waktu lebaran, untuk umat kristiani mudiknya tentu terkait dengan perayaan Natal yang disambung dengan Tahun Baru. Jadi otomatis pengunjung alias umat yang datang beribadah Natal, jelas jumlahnya akan meningkat pesat. Bisa 1,5-2x, atau mungkin juga lebih dari kehadiran pada saat 'normal'-nya.
Para perantau, pulang kembali ke rumah orang tuanya. Berkumpul bersama dengan keluarga besarnya. Beribadah bersama di gereja pada saat Natal tiba.
Nah, dengan bertambahnya umat inilah, biasanya panitia Natal atau pengurus gereja mempersiapkannya sejak dini. Mereka menyewa tenda dan kursi paling tidak seminggu lamanya. Booking ini sudah terjadi 1-2 bulan sebelumnya. Jadinya, paling lambat sudah terpasang di lokasi pada H-1 tanggal 23 Desember, hingga dibongkar pada 2 Januari.
Kalau tidak demikian, tenda dan kursi ini akan dipakai oleh penyewa yang lain. Selain itu, daripada 'capek dan ribet' bongkar pasang seperti itu (meskipun bisa lebih mengirit biaya karena itungan harian), maka sekalian saja pemasangannya. Entah ada acara lagi atau tidak di selang tanggal sewa tersebut.
Dilematis Aturan
Memang sih, dilihat dari tujuannya, ada sisi baiknya. Biar umat bisa berkumpul, masuk semua di satu tempat. Beribadah di dalam gedung gereja. Tidak ada yang berada di luar, yang mungkin juga jadi tidak nyaman dan bisa khusyuk dalam mengikuti ibadah.
Bagaimanapun, jika bisa berada di satu ruangan yang sama, auranya akan berbeda bila dibandingkan berada di tempat terpisah. Apalagi jika hanya bisa menyaksikan lewat layar tambahan. Entah itu dengan perangkat LCD atau TV. Sama halnya beribadah dengan cara streaming (online) dan onsite (hadir langsung).
Mendadaknya aturan dari pemerintah ini tentu berimbas pada perencanaan kegiatan gereja yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Bukan sekadar soal gampang, dengan cara menambah jam ibadah misalnya. Namun juga terkait pada personal yang menjadi 'petugas' dalam rangkaian atau prosesi ibadah itu sendiri.
Ada cukup banyak orang yang harus dipersiapkan kembali jika cara itu dilakukan. Misalnya menambah petugas yang akan mengiringi ibadah (pemusik dan pandu pujian), pengkhotbah (imam, pendeta, pastor yang melayani ibadah/misa), pembaca firman, liturgos, majelis gereja yang bertugas, dan lain-lain. Termasuk juga pendukung di belakang layar seperti petugas multimedia, keamanan dan lain-lain.
Mengutip adagium, bahwa hukum itu dibentuk untuk kesejahteraan bersama. Artinya, jangan sampai aturan yang dibuat ini malah menjadikan ketidaknyamanan pada sisi sebaliknya.
Selamat memasuki Minggu Adven IV dan menyambut Natal buat saudara/i umat kristiani khususnya. Salam damai buat semuanya... :)
Hendra Setiawan
17 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H