Hukuman di atas bisa dilakukan "pemberatan" dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 300 juta. Yaitu apabila perbuatan yang telah disebutkan di atas tersebut dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Nah, kembali pada kasus di atas, remaja yang kedapatan sedang berfoto atau merekam dirinya sedang melakukan perilaku yang terkait pada kesusilaan, bisa jadi ia memang pelaku, tapi pun juga dirinya sebagai korban. Itu jika merujuk pada pengakuan diri dan permintaan maafnya ke publik melalui akun media sosialnya.
Jerat hukum terutama kepada mereka yang melakukan "pengancaman", yang melakukan penyebarluasan konten digital. Kepada mereka inilah sasaran utama dari pemberlakuan UU TPKS. Supaya perempuan jangan semata diam menjadi korban dari pelecehan seksual, terutama yang berbasis elektronik (digital).
Justru peran serta masyarakat, warganet (netizen) dibutuhkan agar jangan sampai foto dan videonya itu malah ikut-ikutan trending. Ancaman hukuman pidana tak akan berfungsi dengan baik jika tak mendapat dukungan yang baik pula dari publik.
Jejak digital itu kejam dan menyakitkan jika itu menyangkut masa lalu yang bersifat negatif. Dampak buruk, beban psikologis akan terus terbawa selama itu tak terhapuskan.
Perempuan masa kini, perlu untuk lebih berani dan mawas diri. Jadilah kuat dan berani. "Jangan main-main (dengan kelaminmu)," pinjam judul buku kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu.Â
Lingkungan pergaulan terdekat  bisa menjadi tameng. Guru, orang tua, keluarga, sahabat dalam bergaul; mereka bisa jadi sarana membawa seseorang berjalan dalam kebaikan atau justru melangkah sebaliknya.
Kata bijak mengajarkan, "pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik". Â Maka alangkah baik juga bila mulai sekarang, terutama generasi muda, bisa meninggalkan jejak karya yang lebih positif dan bermanfaat lewat media sosial yang dimilikinya.
26 April 2022
Hendra Setiawan