Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Remaja Berprestasi Sepi Peminat, Remaja Birahi Banjir Penikmat

26 April 2022   19:00 Diperbarui: 26 April 2022   19:02 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar berita teratas pada 21, 22, dan 26 April 2022 (olahan dok. pribadi)

Salah satu Topik Pilihan Kompasiana memberikan 'tantangan' penulisan dengan tema "Anak Terpapar Porno". Topik yang ngeri-ngeri sedap, mengingat persoalan ini akan tetap aktual kapanpun jua.

Maaf sebelumnya, pemilihan judul di atas bukan untuk clickbait. Hanya sebagai simpulan sederhana dari sebuah "eksperimen sosial" yang ada di dunia maya. Kisah tentang prestasi remaja Indonesia yang masih kalah jauh jumlah pembacanya ketimbang sosok remaja yang jadi trending topic dengan kisahnya yang kontradiktif.

Dilematis Pemberitaan

Ya, sebenarnya repot juga ketika seorang penulis atau pewarta menampilkan gambar ilustrasi atau tautan yang berisi berita yang menyangkut kasus asusila. Apalagi jika itu sampai meledak dan viral.

Mau membahas tema ini, ujung-ujungnya justru bisa lebih memopulerkan orang yang bersangkutan. Pembaca yang tak tahu, malah jadi kepengin tahu sendiri. Jadi penasaran lalu gogling sendiri. Gimana dong, hehe...

Begini saja ringkas ceritanya. Di saat memperingati hari Kartini lalu (21/4), ada linimasa berita yang menampilkan viralnya sosok remaja. Masih muda, umur sekitar 18 tahunan. Masih sekolah tentunya. Ada seragam khusus yang jelas terlihat pada pakaian yang dikenakannya.

Foto dan videonya yang seksi dan vulgar itu mendadak trending melalui media sosial jalur Twitter dan TikTok. Celakanya, konten ini terangkat kembali dan justru lebih meledak ketimbang masa lalu yang juga sempat membuat heboh.

Menurut pengakuan yang bersangkutan, itu sebenarnya materi yang sudah lama. Ia mengaku melakukan hal tersebut karena (waktu itu) takut dengan ancaman pacarnya.

Sontak saja, dengan adanya pemberitaan ini, kata kunci tertentu akhirnya ikutan laris di kolom pencarian. Banjir komentar warganet juga seakan saling berlomba. 

Satunya menawarkan file foto dan video yang sudah 'berhasil' dikumpulkan.  Ada yang hanya menawarkan pecahan (durasi pendek). Ada yang promosi tautan. Gratis namun dengan syarat tertentu; cukup follow dan retweet. Atau cukup berbayar sekian ribu saja, akan dikirimkan tautan setelahnya.

Di satu sisi, warganet lainnya yang penasaran, terus menanyakan kabar, apakah tautan itu benar atau tidak? "Bagi file dong, minta link-nya" dan beberapa komentar yang senada dengan itu terus bermunculan di akun-akun yang kelihatannya juga masih baru dibuat.

Seperti sebuah pasar. Ada permintaan, ada pula penawaran. Ada yang mempublikasikan tangkapan layar berisi gambar-gambar saru dan video yang dimaksud. Tujuannya supaya orang percaya bahwa dia punya "barang original" yang kini lagi banyak diburu.

Nah, media online sebagai pemberi kabar berita tadi, tugasnya di mana terhadap kasus seperti ini? Tentu saja seperti tulisan ini juga, barangkali. Maksudnya baik supaya jangan ikut-ikutan mencari link, tautan yang ditawarkan. Sebab tidak ada jaminan bahwa "barang"-nya asli. Tak usah diburu karena berisikan konten tak senonoh. Tak baik dan tak berguna.

Edukasi yang dilakukan media hanyalah sebatas memberitakan sebuah persoalan atau kasus yang sedang naik daun. Titik. Belum ada solusi paten dan mujarab untuk bisa mencegah beredarnya konten amoral tersebut. Selanjutnya, tetap menjadi tanggung jawab personal dari pembacanya.

Maka, pada sisi sebaliknya, dengan makin meluasnya foto dan video dari remaja yang dulu aktif sebagai pemain streamer game PUBG ini, secara tidak langsung publik makin "mengintimidasi" hak dan privasi yang bersangkutan untuk bisa berbenah diri. Walau tak secara langsung berada di kelompok yang suka bermain di ranah puritan (merasa suci dan paling benar), tapi pembiaran semacam ini juga tak mendidik.

 

UU TPKS dan Perlindungan Hukum pada Korban KSBE 

DPR RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang TPKS pada 12 April 2022 lalu. Tentu ini menjadi angin segar khususnya bagi para perempuan yang kerap menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Salah satu pasal yang menarik adalah munculnya pengkategorian 9 (sembilan) jenis tindak pidana yang termasuk dalam "kekerasan seksual" tersebut. Di antaranya disebutkan yaitu Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Aturan rincinya tertuang dalam Pasal 4, 14, 15, 46, 47, dan 70.

Dalam Pasal 14 UU TPKS ayat 1, mengatur 3 (tiga) hal yang digolongkan dalam KSBE, yaitu:

  1. Melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.
  2. Mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.
  3. Melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Adapun sanksi pidana terhadap orang yang terbukti melakukan KSBE, hukuman maksimalnya berupa denda sebesar Rp 200 juta. Juga bisa diakumulasikan dengan pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun lamanya.

Hukuman di atas bisa dilakukan "pemberatan" dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 300 juta. Yaitu apabila perbuatan yang telah disebutkan di atas tersebut dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

UU TPKS semoga jadi payung hukum yang mumpuni, melindungi perempuan yang sering menjadi korban (foto: ANTARA/Hafidz Mubarak)
UU TPKS semoga jadi payung hukum yang mumpuni, melindungi perempuan yang sering menjadi korban (foto: ANTARA/Hafidz Mubarak)

Nah, kembali pada kasus di atas, remaja yang kedapatan sedang berfoto atau merekam dirinya sedang melakukan perilaku yang terkait pada kesusilaan, bisa jadi ia memang pelaku, tapi pun juga dirinya sebagai korban. Itu jika merujuk pada pengakuan diri dan permintaan maafnya ke publik melalui akun media sosialnya.

Jerat hukum terutama kepada mereka yang melakukan "pengancaman", yang melakukan penyebarluasan konten digital. Kepada mereka inilah sasaran utama dari pemberlakuan UU TPKS. Supaya perempuan jangan semata diam menjadi korban dari pelecehan seksual, terutama yang berbasis elektronik (digital).

Justru peran serta masyarakat, warganet (netizen) dibutuhkan agar jangan sampai foto dan videonya itu malah ikut-ikutan trending. Ancaman hukuman pidana tak akan berfungsi dengan baik jika tak mendapat dukungan yang baik pula dari publik.

Jejak digital itu kejam dan menyakitkan jika itu menyangkut masa lalu yang bersifat negatif. Dampak buruk, beban psikologis akan terus terbawa selama itu tak terhapuskan.

Perempuan masa kini, perlu untuk lebih berani dan mawas diri. Jadilah kuat dan berani. "Jangan main-main (dengan kelaminmu)," pinjam judul buku kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu. 

Lingkungan pergaulan terdekat  bisa menjadi tameng. Guru, orang tua, keluarga, sahabat dalam bergaul; mereka bisa jadi sarana membawa seseorang berjalan dalam kebaikan atau justru melangkah sebaliknya.

Kata bijak mengajarkan, "pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik".  Maka alangkah baik juga bila mulai sekarang, terutama generasi muda, bisa meninggalkan jejak karya yang lebih positif dan bermanfaat lewat media sosial yang dimilikinya.

26 April 2022

Hendra Setiawan

*)  Sebelumnya:  Berkeringat Justru Membuat Tubuh Makin Sehat

**)  Artikel terkait:

Stefanny Imelda Cristy: Kartini Muda Menuju Pentas Dunia

Literasi Seksualitas: "Ini Demo atau Open BO?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun