Tak terasa sudah jelang empat tahun berlalu. Namun begitu, upaya untuk tetap mewujudkan cinta kasih pada sesama, tak 'kan berhenti hanya karena mengalami trauma teror bom tersebut.
Membangun kebersamaan dengan komunitas yang berbeda iman, sebagaimana yang juga menjadi harapan pemerintah, perlu bagi gereja untuk mendukungnya. "Gereja punya tanggung jawab untuk berkorelasi dengan mereka. Perlu bagi kita untuk membangun gerakan seperti itu. Apalagi pada situasi sekarang ini, di tengah masyarakat yang kian resah dengan soal keberagaman," kata Pdt. Claudia S. Kawengian, M.Min saat memberikan pengantarnya.
Ia mengatakan hal itu di hadapan 44 orang yang terdaftar dari berbagai anggota gereja di Surabaya. Maklum, selain suasana pandemi, memang kegiatan ini pesertanya juga dibatasi.
Rombongan ini melakukan kunjungan pagi ke Masjid Rahmat, salah satu masjid tertua di kota Surabaya. Sekitar 600 meter jarak yang ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit. Pkl. 00.42 rombongan beranjak dari titik kumpul dan tiba di tempat tujuan, di Jalan Kembang Kuning.
Sambut Pagi dengan Kasih
Setiba di lokasi, penjaga yang ada di pintu gerbang dan pengurus masjid memberikan sambutan hangatnya. Mereka juga cekatan untuk menyediakan kursi lipat sebagai tempat duduk di halaman bagi sebagian rombongan.
Terdengar lantunan doa di dalam masjid yang konon sudah ada sejak zaman Sunan Ampel. Bangunan yang ada sekarang adalah hasil renovasi tahun 1967. Amat lapang tampak dari depan halaman.
Kira-kira seratus orang lebih nampak di sana, sedang melakukan sholat pada jam 1 pagi itu. Di deretan bagian depan, diisi pria dewasa dan anak-anak. Bagian tengahnya kosong. Dan bagian belakang yang disekat kain nampak perempuan dan anak-anak.
Masih ada waktu cukup lama menanti usainya 'sholat malam ganjil' itu. Bagi 'panitia', mereka bergerak cepat dan estafet untuk segera mengemas paket makanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Sementara pengurus masjid membantu menata dengan penyediaan meja bertaplak hijau sebagai tempat "paket sahur"-nya.