Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbuat Baik Saja Kok Masih Mikir?

4 Maret 2022   17:00 Diperbarui: 4 Maret 2022   17:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memberi atau tidak adalah pilihan etis pribadi (foto: tribunnews.com)

"Jika kau mempunyai kemampuan untuk berbuat baik kepada orang yang memerlukan kebaikanmu, 
janganlah menolak untuk melakukan hal itu."

Ah, sudah hari Jumat lagi. Cepat sekali sepertinya hari-hari dalam sepekan ini. Besok, Sabtu, libur lagi buat yang punya masa kerja cuma lima hari.

Tentu saja makin pendek, karena Senin ada libur Isra Miraj. Kamis ada libur Nyepi. Praktis, hari kerja hanya Selasa, Rabu, dan Jumat ini. Plus Sabtu yang setengah hari buat pekerja lain yang punya masa kerja 6 hari. Tambah girang bila ada yang mendapat hitungan gajiannya per pekan, bukan bulanan.

Jumat, seperti biasa, tagar TGIF menggema. "Thanks God It's Friday." Terima kasih, Tuhan, ini sudah hari Jumat. Jumat yang juga diisi dengan gerakan sosial berbagi berkat.

Tapi, omong-omong soal pemberian kepada mereka yang membutuhkan, terkadang muncul juga sebuah dilematika. Antara mau memberi dan tidak. Misalnya di jalan raya di kota besar, pada masa kini ada himbauan terpampang spanduk untuk tidak memberi uang atau apapun kepada 'peminta-minta (pengemis)' khususnya.                    

Pada sisi yang lain, ada pengajaran iman yang menyatakan agar kita sedapat mungkin bisa memberikan pertolongan kepada sesama saat kita mampu. Sebagai pembelajaran misalnya suatu saat kita mungkin berada di "bawah" dan sedang membutuhkan pertolongan. Kalau sepertinya tak ada yang memedulikan, seperti itulah rasanya.

***

Tak salah juga sebenarnya imbauan yang disampaikan dalam spanduk itu. Memberi seseorang (peminta-minta) justru akan merusak mentalnya. Cukup menadahkan tangan saja sudah datang pemberian. Buat apa kerja susah-susah?

Dengan terus memberi, membuat cara berpikir dan daya tahan seseorang akan mati. Hidup dalam ketergantungan belas kasihan orang lain, tidak membuat seseorang "naik kelas". Justru perilaku orang yang terus menyuburkan aktivitas ini, mereka menjadi enggan beranjak ke kelas sosial yang lebih baik.

Ada lagi yang membuat makin dilematis. Seperti pernyataan, "Kalau tak ingin memberi ya sudah, tidak usah pakai alasan macam-macam. Bilang saja pelit. Wong memberi saja kok masih pakai mikir. Itu kan urusan mereka. Kita hanya memberi, beramal, berbuat baik. Tak usah mikir macam-macamlah..."

Seperti pertentangan batin, bukan? Memberi, salah. Tidak memberi, salah.  Jadi serba salah. "Maju kena mundur kena," kalau pinjam judul film Warkop DKI.

***

Pernah pula sih pengalaman sendiri. Sudah lama kejadiannya sebelum pemerintah kota punya strategi dan aksi bersih-bersih jalanan. Merapikan pemandangan kota dari keberadaan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). 

Ada seseorang yang biasanya mangkal di perempatan jalan, sedang mengoles-oles kakinya dengan semacam obat merah. Biar terlihat nyata dan timbul belas kasihan dari pengguna jalan. Lha, ternyata selama ini kita ditipunya agar bisa mendapatkan uang yang banyak...

Lain lagi dengan cerita peminta-minta yang masuk-keluar kampung. Kepada beberapa orang yang ditemui, terkesan mereka menceritakan hal yang sama. Kepada ibu-ibu atau kaum perempuan biasanya yang tidak tega'an dengan cerita-cerita sendu.

Mereka datang ke kota ini, mencari saudaranya atau anaknya yang terpisah. Hendak menuju pada suatu alamat tertentu, tapi uangnya masih kurang. "Bisakah saya minta tolong untuk meminjamkan/memberikan uang?"

Memang tak besar juga sih, antara 2-5 ribu sebagai ongkos angkot. Tetapi kalau yang jadi sasaran ini jumlahnya banyak, hasilnya kalau dikumpulkan juga cukup lumayan juga...

***

Nah, tambah 'sadis' lagi, peristiwa kebetulan kok lagi-lagi membuka fenomena tersembunyi. Ternyata para peminta-minta ini pada jam tertentu ada yang menjemputnya. Berombongan dengan menaiki mobil. Nah, lho....

Jadi atas beberapa kejadian tersebut, sekarang ini kalau mau berbuat baik pun harus pilah dan pilih. Bukan apa=apa, supaya tepat sasaran dan pemberian itu juga memang bermanfaat bagi yang memang benar-benar membutuhkan.

Serpihan kisah ini memang tak ada kaitannya dengan peringatan Nyepi 2022 kemarin. Hanya meminjam momen sakral sebagai perenungan, bagaimana sebenarnya kita bisa memosisikan diri secara tepat.

Ada yang punya kisah lain?

4 Maret 2022

Hendra Setiawan

*)  Sebelumnya (puisi):  Nyepi: Daring, Hening, Bening, Wening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun