Saat berada di lingkungan komunitas pecinta alam (PA), kita bisa belajar dari mereka. Bagaimana kecintaan mereka pada lingkungan, pada bumi tempatnya berpijak.
Salah dua kisah ini saya dapatkan dari mereka. Pertama ,saat ada kemah di salah satu bumi perkemahan di Mojokerto, Jawa Timur. Malam hari sebelumnya diadakan api unggun.
Nah, siangnya, waktu berkemas-kemas, salah seorang dari anggota PA yang mengawal, membuat sebuah lubang. Titiknya berada di sekitaran bekas bakaran api unggun tadi. Â Nantinya, sisa-sisa potongan kayu dan abunya akan dimasukkan ke sana.
Salah seorang peserta kemah, sepertinya juga mengamati sepatu yang dikenakan anggota PA. Terlihat cukup bagus yang dikenakan. Ya, model sepatu pendakian atau apalah istilahnya. Lalu dengan kakinya, tumbukan abu dan kayu bekas api unggun tadi diratakan ke dalam lubang pembuangan dan ditutup kembali dengan tanah.
"Mas, eman (sayang) sepatunya kotor."
Jawabannya sederhana saja. "Ah tak apa-apa. Sepatu kotor masih bisa dibersihkan. Daripadanya buminya yang kotor (rusak)."
Ya, ya, ya... cukup menarik pembelajaran singkat dan sederhana ini. Tak usah pakai teori yang macam-macam. Cukup dengan aksi nyata yang bisa dilihat.
Quote Abadi
Pelajaran lain didapat dari gunung juga. Ada kata-kata yang sakral yang wajib dihafal dan dipatuhi para anggota PA. Di manapun tempat yang dituju. Quote-nya demikian.
- Take nothing but picture (jangan mengambil apapun kecuali gambar).
- Leave nothing but foot print (jangan meninggalkan apapun kecuali tapak kaki atau jejak).
- Kill nothing but time (jangan membunuh apapun kecuali waktu).
Tiga aturan dasar ini berguna untuk melatih kepekaan dan menjaga kebersihan lingkungan. Juga untuk menghindari aksi negatif dari tangan-tangan jahil yang merusak alam.
Quote pertama tadi bisa dimodifikasi menjadi "sampah". Artinya jangan mengambil apapun, seperti bunga endemik yang hanya bisa tumbuh di tempat tersebut. Ambillah sampahnya, bekas bungkus makanan atau bekal yang dibawa dari rumah.
Sampahnya jangan ditinggal, tapi dibawa turun. Nanti baru dibuang di tempat yang semestinya.
Sampah-sampah yang bertebaran di gunung, masa terurainya sangat panjang. Seperti misalnya:
- Kertas            :   2,5 bulan
- Kardus/karton    :   5 bulan
- Kulit jeruk        :   6 bulan
- Filter rokok       :   10-12 tahun
- Kantong plastik  :   10-20 tahun
- Kertas plastik, botol plastik: 50-80 tahun
- Aluminium foil   :   80-100 tahun
- Kaleng timah     :   200-400 tahun
Quote kedua maksudnya adalah jangan juga meninggalkan bekas coretan, tulisan, gambar, apapun yang bersifat vandalisme (merusak). Berwisata ke gunung memang tujuannya refreshing, bersenang-senang, melepas penat. Tetapi bukan kesenangan yang merugikan, membawa dampak buruk pada keasrian dan kealamian tempat tersebut.
Quote ketiga maksudnya adalah jangan membunuh makhluk hidup seperti hewan atau tumbuhan yang berada di wilayah itu. Termasuk bisa diperluaas untuk tidak membahayakan diri sendiri. Berangkat baik dan sehat, pulang jangan tinggal nama.
Filosofi yang Menular
Tiga pesan yang bagus dalam menjaga lingkungan tersebut sebenarnya dari mana asal mulanya?
Dari hasil penelusuran, ternyata moto tersebut digunakan oleh kelompok atau organisasi penelusuran gua dari Amerika Serikat yang bernama National Speleological Society (1941) dan Baltimore Grotto (1952).
Dalam bahasa Inggris, kalimat yang dipakai adalah:Â "Take Nothing but Pictures, Leave Nothing but Footprints, Kill Nothing but Time."
Berhubung makna dari moto itu bisa diterapkan ke banyak aktivitas, maka diadopsilah oleh para pegiat atau pecinta lingkungan. Misalnya kelompok pendaki gunung, panjat tebing, arus deras (arung jeram), dan lain-lain.
Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan, tentu tidak eksklusif dimiliki oleh kelompok pecinta alam semata. Landasan etis ini tentu juga berguna oleh masyarakat umum yang kini lebih banyak dikuasai teknologi.Â
Pesan makanan atau barang yang cukup lewat jasa online misalnya, pasti akan meninggalkan plastik dan kertas pembungkus beserta notanya. Kalau ini tak bisa dikelola dengan baik, sampah-sampah itu akan semakin menumpuk. Mengotori pemandangan dan memenuhi bak-bak sampah. Terlebih lagi jika berada di pemukiman yang sarat dengan pendatang (kos-kosan).
Tak jarang, jadi sebel saja melihatnya... "Belanja Sadar Lingkungan." Tampaknya ini yang perlu pula mendapatkan perhatian.Â
Okelah, bisa belanja, mampu membayar. Tetapi kesadaran untuk bisa membuat lingkungan tetap elok dipandang, rasanya kok masih di angan-angan. Â Malahan sampahnya makin bertambah-tambah jumlahnya.
Tanggal 21 Februari lalu, selain ada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, juga bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Maka, alangkah baiknya momentum itu juga jadi penggugah kesadaran. Kalau belanja online, sampah-sampah itu dipilah-pilih dulu. Peduli terhadap pengelolaan sampah juga berarti membantu menciptakan lingkungan yang tetap sehat.
24 Februari 2022
Hendra Setiawan
*) Â Sumber: Â Â Alamendah, Â Telusur
**) Â Artikel sebelumnya: Â Jangan Gengsi dan Malu dengan "Bahasa Ibu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H