Kala ngobrol dengan anak IT yang kerap mengurusi 'bahasa-bahasa mesin dan dunia perkabelan', ada manfaatnya juga. Orang yang awam dan biasanya hanya jadi konsumen berita di jagad maya, jadi bisa sedikit tahu seluk-beluk di balik layar.
Misalnya, silih bergantinya berita yang berseliweran, mana yang bisa di-upgrade menjadi trending topic, juga model teknis penulisan di dunia maya. Pernak-pernik yang tidak banyak diketahui orang.
Walaupun ada kesamaan, tapi berderet perbedaan juga nampak saat kita menulis di media cetak dan digital. Meskipun tujuannya sama supaya sebuah tulisan bisa dibaca lebih banyak orang, namun versi online punya cara tersendiri.
Pemberitaan di jagad maya atau online, termasuk baik atau buruknya sebuah tulisan pada sebuah situs (website), pun tidak sebatas bisa dipastikan dari seberapa panjang atau pendeknya karya. Jumlah katanya minimal berapa ratus dan sebagainya.
Orang yang rajin atau produktif dalam menayangkan karya, bisa membuat 'kata kunci' yang bisa di-indeks, ditabulasi oleh "mesin pencari", bisa jadi tulisannya akan mendapatkan posisi bagus di daftar pencarian. Begitu rumusan sederhananya.
Namun terlepas dari segala teori kemungkinan yang ada tersebut, bagi seorang penulis sejati, dia tak akan sejauh itu cara berpikirnya. "Saya menulis untuk berbagi. Itu saja." Salah satu contoh orang yang simpel dan maunya praktis saja.
Pers Era Digital
Menyambut HPN (Hari Pers Nasional) 2022, salah satu isu krusial dari pers media digital saat ini adalah soal "akurasi atau kecepatan publikasi". Mana yang lebih penting, "Cepat tapi tak akurat" atau "Lambat tapi datanya kuat"?
Tentu sih, sewajarnya memilih ada situs atau kantor berita yang bisa menghasilkan muatan informasi yang cepat, akurat dan datanya kuat. Empat jempol diangkat tinggi, hehe...
Menurut saya, sisi lain dari pemberitaan yang dihasilkan ini, adalah mereka yang ada di baik layarnya juga. Sebab mereka juga bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkannya.
Kalau dilakukan pemeringkatan, setidaknya ada 3 (hal) yang perlu mendapatkan perhatian. Biar gampang diingat saja, saya mengistilahkannya dalam 3-U.
1. Lucu
Maksudnya berita yang muncul jadi terkesan "main-main", tidak profesional sebagaimana layaknya organissasi (badan hukum) penyedia jasa pers yang sesungguhnya.
Kalau belajar organisasi di media massa, tentu ada yang namanya wartawan, jurnalis, atau penulis dalam tingkatan dasar. Mereka yang posisinya sebagai pihak pertama pembuat berita (tulisan). Mereka ini yang memiliki porsi terbesar dalam menyampaikan informasi atau gagasan dalam karyanya.
Di atas mereka ada yang namanya "Editor". Â Tugas editor ini antara lain adalah menuntun penulis agar bisa menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Membantu penulis untuk mensistematiskan kerangka berpikirnya. Juga memberikan petunjuk bagi penulis untuk mendapatkan referensi yang berkualitas.
Jadi, keluaran akhir dari sebuah karya yang bisa ditampilkan ke publik, biasanya terdapat peran editor di sana. Entah sedikit atau banyak campur tangannya, yang jelas ada.
Kalau penulis sudah dianggap mampu, bisa jadi mereka akan "dilepas". Jadi kalau membaca media online, tak usah heran menjumpai nama penulis dan editor yang berbeda. Atau bisa juga nama yang sama itu yang muncul. Entah itu di bagian atas setelah judul artikel atau di bawah sendiri setelah tulisan panjang berakhir.
Nah, kalau menemukan pemberitaan seperti dalam tangkapan layar seperti ini, lantas bagaimana? Hehe, lucu ya kesannya? Atau hhiii, seram.... :).
Untung ini salahnya di benda mati. Coba kalau urusannya dengan orang atau lembaga tertentu, dan ini kesalahan fatal. Wah, bisa jadi urusan yang berkepanjangan...
Â
2. TabuÂ
Maksudnya sebuah berita yang isinya mengandung kerancuan di dalamnya, bisa memunculkan tanda tanya pada kredibilitas si pembuat berita atau yang terkait di dalamnya. Intinya, insan pers "tabu" untuk berbuat kesalahan, walau sekecil apapun sebelum tulisan dianggap "layak terbit".
Sama seperti penjelasan di atas, editor sebenarnya punya peran yang penting di dalamnya. Menjadi garda utama sebelum tulisan "naik cetak" atau "tayang" (online).
Seperti pada contoh berita di tangkapan layar di bawah ini.
Anak sastra, komunikasi atau sejarah mungkin menangis saat membacanya, hehe... Paling gampang dulu saja adalah soal penggunaan tanda baca yang menunjukkan urutan.
Dalam gambar di atas tertulis "ke VIII" dan "ke IX". Ini pelajaran dasar dalam menulis sesuai EYD atau PUEBI (istilah kini). Aturan bakunya adalah kalau ditulis angka, "ke"-nya ditambah tanda hubung. Jadi ditulisnya adalah "ke-8" atau "ke-9".
Bisa divariasi lain jika ditulis dengan kata dengan cara menyambungnya. Jadi tulisannya adalah "kedelapan" atau "kesembilan".
Nah, baru kalau memakai angka Romawi, tidak perlu lagi memakai kata "ke". Jadi malah salah, rancu. Jadi cukup menulis "VIII" atau "IX", yang artinya sudah berarti "ke" (urutan).
Sederhana dan mudah dihafalkan sebenarnya. Tapi itu belum koreksi soal lainnya, lho ya....
***
Hal penting lain yang amat disayangkan adalah juga soal penggunaan istilah yang berbeda dalam satu pemberitaan. Ada dua diksi (pilihan kata) dalam judul dan isi berita yang artinya tidaklah identik.
Judulnya memakai kata "Kristen", sementara pada isi berita memakai kata "Nasrani". Dua terminologi ini tidaklah sama dan sejenis. Ada perbedaan yang tidak bisa dipaksakan untuk sama.  Kristen dan Nasrani, Diksi yang Ambigu  (*klik saja untuk selengkapnya).
3. Saru
Ini yang juga kerap menjadi bahan pemberitaan di media digital sekarang ini. Maksudnya adalah menceritakan bagian tubuh dari --kebanyakan- wanita. Opini yang bisa menggiring 'fantasi' pembaca sesuai dengan maksud penulisnya.
Misalnya saja secara acak seperti tangkapan layar yang diambil beberapa hari lalu seperti ini.
Ada kesan "objektifikasi seksual" dalam pemberitaan seperti ini. Tubuh wanita pada satu sisi dikagumi, tapi pun pada saat yang sama ia bisa mendapat justifikasi sebaliknya.
Sekadar clickbait atau ....? Entahlah, saya juga tidak tahu pasti. Yang jelas pada bagian ini, saya tak akan berpanjang kata. Jadi biar pembaca yang budiman yang membantu menilainya.
Selamat Hari Pers Nasional 2022. Selamat ber-literasi mandiri....
18 Februari 2022
Hendra Setiawan
*)  Baca Artikel Utama:  Mengapa Bertahan "Demi Cinta"?
Pamer Harta, Berujung Duka atau Bahagia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H