Ada kelompok tertentu sering menghujat, menghina, dan menebar rasa benci kepada penganut kepercayaan (adat budaya) yang lain. Bahkan melarang, merusak pakem dan warisan tradisi leluhur. Tapi tindakan tegas kepada mereka yang membuat ulah, hanya manis dalam janji. Pihak yang jadi korban menjadi korban kedua kalinya karena justru bukan mereka yang mendapatkan perlindungan.
Kerap dipertontonkan, ada pihak yang merasa diri sebagai pemegang hak previlege yang wajib dipatuhi dan dihormati karena "superior dan mayoritas". Namun, begitu kedapatan kesalahan yang terang-benderang, lantas melempar tanggung jawab dengan menyalahkan yang lebih "inferior dan minoritas."
Jenuh 'kan kalau terus-terusan mendapatkan 'lagu-lagu lawas' seperti ini? Akibat buruknya apa? Menjadi per-maklum-an, "Ah... sudah biasa!"
Tidak menyelesaikan persoalan yang muncul dalam suatu tatanan masyarakat. Namun jelas memunculkan gejala sakit yang lain, "apatis". Maka tak heran kalau suara publik lewat media sosial menjadi pelampiasannya. Seperti munculnya tagar #percumalapor... Â atau #save....Â
"Antropologi pers" kalau boleh memakai terminologi seperti ini, punya kekuatan dalam menunjukkan taringnya. Membantu persoalan sensitif yang sedang berkembang. Mencari alternatif solusi jika harapan lewat jalur resmi tak mempan.
Refleksi
Dengan adanya peringatan Hari Antropologi seperti ini, besar harapan sebagai anak bangsa yang berlindung dalam payung besar pelangi, biarlah  rumah Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini bisa kembali nyaman untuk ditinggali.
Saya, kamu, dan kita; merindukan generasi yang bisa akur duduk manis tanpa sinis. "Ah, kamu kafir, kamu sesat. Tak mau aku bergaul denganmu."
Saya, kamu, dan kita; merindukan masa-masa indah bersama. Tegur sapa, belajar, bermain, dengan riang gembira dan sukacita. Dengan beragam perbedaan rupa sebagai sebuah karunia yang memang mesti diterima dengan ikhlas dan lapang dada.
17 Februari 2022
Hendra Setiawan