Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pers, Hari Antropologi, dan Persoalan Intoleransi

17 Februari 2022   17:45 Diperbarui: 17 Februari 2022   21:45 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara ringkas, antropologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari manusia pada sisi budaya, dan juga hal lainnya yang berkaitan dengan masyarakat.

Kata antropologi berasal dari kata Yunani (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Maka secara etimologis, antropologi berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia.

Nah, dalam melakukan kajian terhadap manusia ini, aspek sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial, ilmu hayati (alam), dan juga humaniora, menjadi sangat penting.

Antropologi berguna untuk mempelajari pola perilaku manusia, baik secara individual, kelompok, ataupun yang lebih luas yakni dalam sebuah suku bangsa. Dari sinilah, sebuah masalah dapat dideteksi. Dari sisi psikis, emosi, tingkah laku dan lingkungannya.

Berangkat dari problem yang ada, ilmu antropologi berguna untuk membantu menciptakan ide baru atau solusi atas masalah yang muncul di masyarakat tadi.

Penghargaan atas Kesetaraan Hak dan Persoalan Intoleransi

Kalau mencermati situasi sosial yang berkembang di tanah air belakangan ini, dengan meminjam pisau bedah antropologi, setidaknya kita pun bisa turut belajar memahaminya. Seperti misalnya, ada dua hal yang nampaknya menjadi penyakit yang menggerogoti kebhinnekaan Nusantara. Problem lawas dan akut yang sepertinya belum ada obat penangkal yang mujarab.

Pertama, penghargaan sebagai individu dan warga negara yang setara kedudukannya di mata hukum positif. Termasuk adalah soal penegakan hukumnya (law enforcement).

Kedua, penghargaan atas kesetaraan hak individu atau kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan pilihan. Baik itu secara keyakinan (agama/kepercayaan), etnografi (suku, budaya, adat-istiadat), gender dan dan perbedaan lainnya.

Ada banyak peristiwa yang membuat orang jadi miris dan sinis terhadap aturan hukum yang ada di Indonesia. Pada kasus dengan tingkat pelenggaran yang sama, perlakuannya bisa berbeda.

Misalnya seorang pesohor (artis) bisa bebas dari jerat hukum melanggar aturan protokol kesehatan masa karantina. Padahal sudah ada 'protap' bahwa pada masa pandemi Covid-19, siapapun WNI yang pulang dari luar negeri wajib menjalankan karantina terlebih dulu.

Ada penceramah atau tokoh agama yang sering kedapatan menghina keyakinan dari pemeluk agama lain. Sengaja diumbar dan ditayangkan kepada publik; bukan terbatas dan tertutup buat khalayak.

Pihak penegak hukum seolah kehilangan taji dan gamang kala menghadapi persoalan seperti ini. Pihak yang satu bisa diproses cepat secara hukum, yang lainnya tetap santuy melenggang. Satunya dituntut dan dihukum tahunan, satunya dalam hitungan bulan sudah lepas jeruji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun