Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta, Warna Pink, dan Wanita (Sisi Lain Valentine's Day)

16 Februari 2022   17:00 Diperbarui: 16 Februari 2022   17:05 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Valentine identik dengan simbol cinta dan warna pink (kolase Instagram @christy_united dan pixabay.com)

Sejarah 'Hitam' Valentine's Day

Sisi 'gelap' sejarah Hari Valentine yang kini identik ada di pertengahan bulan Februari, sejatinya mengenang pengorbanan dari salah satu pemimpin umat Kristen bernama Valentine (Valentinus) dari Roma.

Versi kisah paling umum adalah ia dijatuhi hukuman pancung pada 14 Februari 278 Masehi. Eksekusi ini dijatuhkan karena Valentine dianggap menentang kebijakan Kaisar Claudius II tentang aturan pernikahan bagi warganegara Roma.

Kala itu, sewaktu Claudius II memerintah, Romawi sedang menghadapi perang hebat. Untuk melindungi bahaya serangan musuh, ia membutuhkan banyak pasukan.

Tak banyak kaum muda yang tertarik menjadi anggota tentara baru. Malahan, para tentara itu mendapatkan peraturan bahwa mereka tidak boleh menikah sebelum pulang dari medan perang.

Tujuannya supaya mereka bersemangat dan bisa mengalahkan para musuh. Baru sesudah itu dapat menikmati indahnya perkawinan.

Aturan seperti ini ditentang oleh gereja. Salah satu tokoh utamanya adalah Valentine tadi. Secara diam-diam, ia tetap memberkati perkawinan antara pasangan yang siap bersatu hati.

Atas peristiwa ini, baru pada akhir abad ke-5 (tahun 496), Paus Gelasius mendeklarasikan 14 Februari sebagai Hari St. Valentine.

 

Pink, Warna Cinta?

Walau sebenarnya tak bisa dipastikan persisnya kapan, namun yang kita tahu kini setiap tanggal 14 Februari, dunia menyebutnya sebagai Valentine's Day. Di Indonesia sendiriterjemahannya menjadi Hari Kasih Sayang.

Momen ini kerap diperlambangkan dengan simbol cinta atau  gambar-gambar berbentuk hati. Paduannya adalah warna pink. Dua hal yang sepertinya sudah menjadi tradisi wajib dan tak bisa dipisahkan.

Nah, mengapa bisa begitu? Apakah Valentine's Day erat kaitannya dengan warna pink? Sebenarnya tidak juga! Ada beragam warna yang juga lekat. Seperti warna ungu lavender, yang melambangkan pesona dan orisinalitas. Ada kuning, yang melambangkan kegembiraan, hati senang, dan persahabatan. Tapi pink pesannya sangat kuat sebagai asosiasi (penggambaran) dari simbol "cinta" tadi.

Dalam sejarahnya, penggunaan kata "pink" sebagai sebuah warna, baru dilakukan semenjak pertengahan tahun 1500-an. Ditengarai kata ini berasal dari Bahasa Belanda.

Warna "pink" ini diambil dari "Pinks" (nama latin Dianthus Plumarius); yang merupakan nama sejenis tanaman dengan bunga berwarna merah jambu. Bunga ini juga lebih dikenal dengan sebutan Wild Pink. Aslinya, ia berasal dari Austria, Kroasia, dan Slovenia. Namun kemudian banyak dibudidayakan di Italia, Jerman, dan Inggris.

Mengapa Pink?

Alasan penggunaan warna pink bisa bervariasi. Namun yang paling utama adalah keterkaitannya dengan warna utama pembentuknya. Ada percampuran dari sifat warna dasar merah dan putih yang menghasilkan warna pink.

Warna merah dikaitkan dengan unsur gairah yang menggelora. Sementara putih, melambangkan unsur polos dan murni. Sehingga, penggunaan warna pink pada Valentine's Day akan memunculkan adanya unsur cinta yang kuat namun lebih lembut.

Kalau mau lebih spesifik lagi, pink alias merah muda tadi bisa dikelompokkan pada warna pink muda dan tua. Nah, hal ini juga punya makna yang berbeda pula.

Warna pink yang terang bisa mewakili keanggunan, kelembutan, kekaguman, dan persahabatan. Sementara warna pink tua lebih condong ke arah rasa terima kasih, penghargaan dan syukur.

Pink Hanya untuk Perempuan?

Jujur harus diakui dalam kenyataannya "ya" untuk masa kini. Padahal faktanya jika dilihat dari sudut pandang sejarahnya, dulu warna pink malah dianggap sebagai warna yang maskulin. Di buku-buku dan katalog lama, pink adalah warna untuk anak kecil laki-laki.

Pada abad ke-18, khususnya di Barat, anak kecil laki-laki dan perempuan dari kalangan atas juga kerap mengenakan warna pink, biru atau warna warna lain secara seragam. Warna masih bersifat "netral", tidak terpengaruh pada gender.

Feminisasi warna pink terjadi saat dunia memasuki abad ke-19. Pria dewasa di Barat mulai banyak mengenakan warna-warna gelap. Hingga yang tersisa, warna pink kemudian seakan menjadi milik kaum wanita semata.

Jadi kalau sekarang ada lali-laki yang suka dengan warna pink, bisa jadi ia akan jadi bulan-bulanan bahan tertawaan dan gunjingan. Terlihat 'norak', tidak maskulin, atau identik dengan pria gay kalau mengenakan baju berwarna pink.

Melawan Stigma 

Melawan stigma, cap buruk, atau salah kaprah yang sudah menjamur di mayoritas pemahaman masyarakat bukan perkara mudah tentunya. Kejadian konkritnya misalnya demikian. Bagaimana saya; pria, tapi juga suka dengan warna pink? Saya memotret bunga mawar warna pink lalu meng-upload-nya lewat akun media sosial pribadi. 

"Pria kok suka bunga, warna pink lagi..." Terkesan diskriminatif, kan?!"


Bagaimana juga dengan kantor saya, yang identik di pekerjaan yang bergerak dengan lambang kekuatan alias maskulin, tapi punya seragam berwarna pink? Walaupun itu bukan seragam kerja yang formal yang wajib dikenakan di hari kerja tertentu. Padahal dilihat dari komposisi pegawainya, yang karyawati hanya 10-20% jumlahnya.

Tentu saja jadi rancu dan sering muncul pula keraguan atas hal ini. Misalnya menemukan barang atau baju dengan motif yang bagus. Tapi karena warnanya pink, tak jadi membelinya. Kalaupun "terpaksa" karena itu  termasuk stok limited ediition, diberikan kepada orang lain (anggota keluarga).  Akhirnya, terpaksa dan agak kecewa karena bukan untuk diri sendiri.

Penutup

Kesan buruk yang ditampilkan lewat corong media bahwa Hari Kasih Sayang ini identik dengan pergaulan bebas, free sex, adalah "propaganda" yang menyesatkan. Justru sebenarnya ada lebih banyak peristiwa yang menggembirakan dan memberikan nilai-nilai inspiratif.

Kisah-kisah soal kedermawanan, spirit sosial cinta kasih secara universal, cerita-cerita yang membangun nilai kebersamaan dan kebangsaan. Hal-hal seperti inilah yang semestinya perlu untuk dicatat dan diberitakan. Sebagai penyeimbang dan sekaligus pemberat. Bahwa nilai dasar dan semangat kasih sayang itu bukan hanya lahir dari rahim satu keyakinan (agama) tertentu. Itu hanya momentum saja, namun siprit keteladanan dan cinta kasih pada sesama tetaplah sama.

16 Februari 2022

Hendra Seiawan

*) Bacaan:  Okezone,  Tirto,  Kumparan,  Liputan6  dan sumber lainnya

**)  Sebelumnya (Artikel Utama):  Mengapa Bertahan "Demi Cinta"? 

Cinta yang Tersakiti (Puisi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun