Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta, Warna Pink, dan Wanita (Sisi Lain Valentine's Day)

16 Februari 2022   17:00 Diperbarui: 16 Februari 2022   17:05 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur harus diakui dalam kenyataannya "ya" untuk masa kini. Padahal faktanya jika dilihat dari sudut pandang sejarahnya, dulu warna pink malah dianggap sebagai warna yang maskulin. Di buku-buku dan katalog lama, pink adalah warna untuk anak kecil laki-laki.

Pada abad ke-18, khususnya di Barat, anak kecil laki-laki dan perempuan dari kalangan atas juga kerap mengenakan warna pink, biru atau warna warna lain secara seragam. Warna masih bersifat "netral", tidak terpengaruh pada gender.

Feminisasi warna pink terjadi saat dunia memasuki abad ke-19. Pria dewasa di Barat mulai banyak mengenakan warna-warna gelap. Hingga yang tersisa, warna pink kemudian seakan menjadi milik kaum wanita semata.

Jadi kalau sekarang ada lali-laki yang suka dengan warna pink, bisa jadi ia akan jadi bulan-bulanan bahan tertawaan dan gunjingan. Terlihat 'norak', tidak maskulin, atau identik dengan pria gay kalau mengenakan baju berwarna pink.

Melawan Stigma 

Melawan stigma, cap buruk, atau salah kaprah yang sudah menjamur di mayoritas pemahaman masyarakat bukan perkara mudah tentunya. Kejadian konkritnya misalnya demikian. Bagaimana saya; pria, tapi juga suka dengan warna pink? Saya memotret bunga mawar warna pink lalu meng-upload-nya lewat akun media sosial pribadi. 

"Pria kok suka bunga, warna pink lagi..." Terkesan diskriminatif, kan?!"


Bagaimana juga dengan kantor saya, yang identik di pekerjaan yang bergerak dengan lambang kekuatan alias maskulin, tapi punya seragam berwarna pink? Walaupun itu bukan seragam kerja yang formal yang wajib dikenakan di hari kerja tertentu. Padahal dilihat dari komposisi pegawainya, yang karyawati hanya 10-20% jumlahnya.

Tentu saja jadi rancu dan sering muncul pula keraguan atas hal ini. Misalnya menemukan barang atau baju dengan motif yang bagus. Tapi karena warnanya pink, tak jadi membelinya. Kalaupun "terpaksa" karena itu  termasuk stok limited ediition, diberikan kepada orang lain (anggota keluarga).  Akhirnya, terpaksa dan agak kecewa karena bukan untuk diri sendiri.

Penutup

Kesan buruk yang ditampilkan lewat corong media bahwa Hari Kasih Sayang ini identik dengan pergaulan bebas, free sex, adalah "propaganda" yang menyesatkan. Justru sebenarnya ada lebih banyak peristiwa yang menggembirakan dan memberikan nilai-nilai inspiratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun