Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Siskaeee dan Larisnya "Bermain Isu Agama"

9 Desember 2021   17:00 Diperbarui: 9 Desember 2021   17:10 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar berita (dok. pribadi)

 

Siskaeee (23) alias FCN, pelaku adegan vulgar yang mempertontonkan payudara dan alat vitalnya di bandara YIA (Yogyakarta International Airport) pada 18 Juli 2021 lalu, akhirnya ditangkap oleh pihak berwajib di stasiun Kota Bandung pada 4 Desember 2021.

Dalam proses ini, salah satu foto yang beredar adalah saat tersangka terlihat sedang mengenakan jilbab. Mengetahui hal ini, kanal media sosial Twitter pada Rabu (8/12) kemarin banjir dengan tagar #SiskaeeeBukanMuslim. Pengusung tagar ini ramai-ramai berkomentar, mempertanyakan dan menolak tindakan aparat yang dianggap telah membuat citra keagamaan mereka menjadi tercoreng.

Pihak penentang ini beranggapan bahwa jilbab adalah pakaian khas umat Muslim. Maka tak sepantasnya, tersangka memakai baju ini saat dalam proses penangkapan. Narasi yang muncul berikutnya adalah sebuah anggapan bahwa yang bersangkutan sebenarnya adalah pemeluk agama Kristen. Hal ini berdasar bukti salah satu tangkapan layar pada saat FCN berpose dengan mengenakan kalung berbentuk salib.

Sementara itu, menurut pihak kepolisian, hal ini sudah sesuai prosedur yang berlaku. Sebagaimana permintaan dari pihak tersangka, yang menyatakan dirinya memang beragama Islam (sumber berita).

 

Tak Jujur 

Ada hal yang perlu dikritisi dari nalar yang dibangun oleh mereka yang membangun opini sesat (falsifarum) demikian. Seolah-olah benar, padahal tidak juga.

Apakah itu? Soal penerimaan ("garis bawah") bahwa memang ada "orang-orang bermasalah" pada setiap pemeluk agama atau komunitas kepercayaan tertentu. Rupanya narasi ketidakjujuran ini yang hendak dibangun oleh sekelompok orang. Walaupun sepertinya niatannya baik, namun efeknya justru menjadi buruk.

Seolah-olah dengan "melepas atribut keagamaan seseorang" maka persoalan selesai. Agama biar tampak tetap bersih. Namun para pelaku yang merusak citra agama itu sendiri terbiarkan. Ditinggalkan, bukan diajak kembali ke jalan yang seharusnya dijalani secara benar.

Berhubung dalam narasi yang dibangun itu juga mengarah kepada keyakinan yang lain, tentu sikap yang sama sebenarnya juga bisa terjadi. Bukan cuma umat muslim, yang kristiani pun sama. Merasa dirugikan atas kasusnya. Seperti penggunaan nama depan dari tersangka (Fransiska CN) yang telah melakukan tindak pidana cyber yang melanggar kesusilaan berupa pornografi online ini.

Terkhusus di sini adalah umat Katolik yang masih punya tradisi penghormatan kepada nama-nama suci. Fransiska  adalah seorang "Santa dari Roma, pelindung, orang kudus" dalam tradisi gereja yang hidup di abad ke-14. Nah, pemakai namanya ternyata tidak mampu menghayati nama 'orang suci' ini.

Menerima Kewajaran

Sebenarnya kalau melihat secara proporsional peristiwa kejahatan, kriminal, terorisme dan sebagainya, yang dari dulu hingga sekarang tetap terjadi. Tidak pernah ada pengungkapan identitas pelaku-pelaku tersebut dengan menyebut keagamaannya sebagai prioritas utama. Paling umum adalah penyebutan identitas nama (asli dan alias/nama lain) atau inisial, asal atau domisili tempat tinggal, jenis kelamin beserta umur.

Soal agama, kepercayaan, keyakinan, hanya dipakai sebagai kelengkapan prosedural formal selama menjalani persidangan. Sebab mereka akan disumpah atau berjanji berkata jujur (sebenar-benarnya) dalam persidangan itu. Perkataan mereka menjadi terikat "di bawah hukum" karena ada di bawah sumpah atau janji tadi; di hadapan pemuka agama yang bersangkutan.

Maka menjadi aneh kalau urusan penangkapan tersangka sebuah kasus, lalu ramai-ramai menolaknya. Seakan hendak mengalihkan isu dan cuci tangan. "Itu bukan bagian dari kami".

Ya, sebenarnya kan wajar saja kalau misalnya pada suatu negara atau wilayah yang di dalamnya banyak umat muslim, maka orang yang bermasalah paling besar jumlahnya adalah umat muslim juga. Demikian juga kalau di satu tempat yang menjadi mayoritas penduduknya beragama Kristen, maka orang yang bermasalah paling banyak adalah yang menganut agama Kristen.  Dan begitu seterusnya jika di sebuah wilayah itu didominasi oleh penganut agama di luar itu.

Mengalihkan isu persoalan sosial kemasyarakatan dan menyeretnya pada ranah privat keagamaam seseorang, justru memperburuk citra agama yang bersangkutan. Peertanyaan serius adalah apakah dengan mengesampingkan atau meniadakan faktor keyakinan seseorang, maka akar permasalahan menjadi selesai? Tidak juga, karena itu ibaratnya sedang memelihara sebuah borok dalam tubuh. Bukan berupaya menyembuhkannya, agar terlihat sehat semua.

Mengapa harus takut atau menghindari kenyataan yang ada? Akar masalah bahwa dalam komunitas agama A, B, C, ... ada 'oknum-oknum' yang mencoreng ajaran agamanya adalah benar fakta, realita. Itu sebuah kenyataan buruk dan pahit yang mesti diterima dengan lapang dada. Bukan untuk disembunyikan perbuatan salahnya.

Seseorang bisa ditangkap oleh pihak berwajib adalah murni karena perilaku seseorang yang menyalahi aturan. Terlepas apapun itu agama yang dianutnya. Pejabat, orang biasa, bahkan yang punya gelar dan jabatan tinggi keagamaan sekalipun. Kalau bersalah, ya tetap akan diproses secara hukum.

Tak perlu gusar kalau memang ada perbuatan si 'oknum' yang menyimpang dari jalan yang benar. Hal itu tidak akan berarti bisa secara otomatis mampu mengurangi esensi dari ajaran agama itu sendiri, agar seseorang bisa hidup dalam kebaikan. Salahnya ada pada manusianya, bukan pada ajarannya.

Sebagai penutup, bermedia sosial perlu bijak dan tidak gegabah mengeluarkan pernyataan. Kalau salah tuding, bisa kena lemparan batu pada diri sendiri. Bisa dianggap provokator, ikut menyebarkan fitnah atau membuat kabar bohong. Bisa kena ancaman pemidanaan UU ITE. Runyam malahan...

 

9 Desember 2021

Hendra Setiawan

*) Sebelumnya:  Menghadapi Korban Hamil karena Pelecehan Seksual, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun