Mendampingi Korban Hamil di Luar Perkawinan Sah
Membaca kisah atau mendengarkan sharing pengalaman dari orang yang pernah terjerumus dalam hubungan terlarang pranikah, rasanya miris dan bisa membikin nangis.
Tentu ada dua sisi yang senantiasa hadir dalam menghadapi kasus seperti ini. Pertama adalah sikap menyalahkan pelaku. Perbuatan yang secara norma dan etika sosial tak patut. Juga secara agama bisa dianggap sebagai perbuatan “dosa”.
Kedua adalah sikap merangkul. Proses dan tindakan seperti ini yang tak akan mudah. Bukan berarti membiarkan atau melegalkan kesalahannya. Namun lebih pada proses ‘rekonsiliasi’. Baik itu kepada pihak keluarga dan hubungan batiniah.
Kasus remaja (pemudi) hamil di luar perkawinan yang sah, lantas si kekasih tadi tak mau bertanggung jawab, sebenarnya bukanlah hal yang baru sama sekali. Ada banyak varian kisahnya. Namun sekali lagi, yang rentan untuk dipermasalahkan dan kerap menjadi “double jeopardy” alias hukuman ganda adalah pihak wanita.
Stigma negatif ini hampir mutlak dialamatkan kepada si wanita ketimbang pria. Walaupun keduanya bisa disebut memiliki kesalahan yang sebanding. “Kenapa wanitanya mau? Kenapa tidak berteriak atau lari saja kalau memang tidak menginginkan terjadinya persetubuhan? Kenapa tidak putus saja dengan lelaki brengsek seperti itu?”
Ungkapan-ungkapan pedas seperti ini amat lazim terjadi. Akibatnya apa? Si wanita yang sudah mengalami depresi karena kekasihnya tak mau bertanggung jawab, mendapat justifikasi lanjutan. Bahwa dia juga di-cap turut menjadi penyebab dari kasus amoral yang terjadi itu.
Merangkul yang Terluka
Sepekan ini, kasus tewasnya NW (23), mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang yang awalnya ditengarai bunuh diri pada Kamis (2-12-2021) menyita perhatian publik.
Terlebih lagi pada Sabtu (4-12-2021), kisah perempuan asal Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto menjadi trending di media sosial Twitter. Pasalnya, terkuak sisi lain penyebab utama dan kronologis kisahnya.
Ternyata ada cerita pilu yang lebih tragis ketimbang tulisan berita ada wanita muda yang sekadar mati menenggak racun dan ditemukan di samping pusara ayahnya.
Konon, hanya ibunyalah yang masih memberikannya kekuatan moral untuk bisa bertahan hidup. Keluarga yang lain sudah tak memedulikannya dan terus memojokkannya. Upaya hukum seperti jalan buntu; jauh panggang dari api.
"Mahasiswi cantik berjilbab," seperti tampak dalam foto dan narasi yang beredar. Kesan psikologis yang secara umum dia bisa dianggap lebih ‘agamis’. Paling tidak, ia lebih dianggap mampu (struggle) dalam menghadapi persoalan hidup atas dasar iman percayanya.
Namun situasi sosial lingkungan yang dialaminya tidaklah semulus nasib baiknya yang bisa kuliah di salah satu kampus negeri ternama. Juga bisa berkenalan dekat dengan seseorang yang punya karir bagus di salah satu institusi negara, yang kemudian menjadi kekasihnya.
Namun begitu, rentetan peristiwa tak semanis jalan hidup yang diawalinya. Pada mula kehidupan di kampus, ia juga sempat mendapatkan pelecehan seksual dari kakak tingkatnya. Akibatnya, ia mengambil cuti kuliah 1 semester karena merasa dipermalukan.
Selang berapa lama, ia justru mengalami peristiwa pemerkosaan dan berakibat hamil. Buntut oknum dekatnya tak mau bertanggung jawab. Sudah begitu, ia dipaksa menggugurkan janin dalam kandungannya.
Sepandainya seseorang, sekuat apapun mentalnya, tapi kalau lingkungan terdekat justru abai terhadap persoalan ini, jalan “bunuh diri” bisa jadi adalah sebuah 'permakluman'.
Temani, Jangan Ditinggalkan
Dalam sudut pandang agama atau kepercayaan apapun, orang bunuh diri bisa dianggap salah dan dosa. Tentu tahapan penyelesaian atas hal ini, ada ragam rupa tergantung dari keyakinan imannya tersebut. Antara pemuka agama, lembaga konseling, atau pelayanan pastoral tentu punya kisi-kisi tersendiri untuk menangani kasus-kasus berat seperti NW di atas.
Sekali lagi, biar jangan ada justifikasi yang terus berulang pada diri seseorang yang sudah dianggap “salah/dosa” tadi. Justru harapannya adalah mengangkat mental dan sisi spiritualnya, agar bisa bangkit kembali.
Orang mengaku salah, wajib dimaafkan. Orang mengaku dosa, ada pintu pengampunan. Artinya, jangan yang sudah salah tadi, lantas dibiarkan kembali berada di jalan yang salah. Sudah salah, mengambil tindakan yang salah pula. Salah berlipat ganda.
Konkretnya, wanita hamil di luar status perkawinan yang sah adalah salah. Terlebih jika kehamilan itu dilakukan akibat perbuatan secara sadar oleh dua insan yang sama-sama sudah dewasa.
Ada hukum negara yang mengaturnya, bisa menjerat kedua pasangan ini. Begitupun dengan menggugurkan janin, aborsi, juga menjadi perbuatan yang diancam pemidanaan.
Sama juga dengan hukum agama. Sudah berdosa melakukan hubungan terlarang, masih juga mau membunuh bakal manusia yang baru. Makin bertumpuk pelanggarannya.
Stop Perulangan Kasus
Kasus NW, bisa jadi salah satu puncak gunung es. Ada pelecehan seksual, tindakan pemerkosaan, dan si pelaku enggan bertanggung jawab.
Si korban justru diminta (dipaksa) menggugurkan janin kala ia meminta pertanggungjawaban pelaku. Pelaku justru berusaha mengamankan diri, menjaga nama baiknya dan keluarga.
Korban pada akhirnya hanya menjadi pihak penanggung malu dan rasa bersalah. Hidup tak lagi tenang, terkucilkan (mengucilkan diri), malu, depresi, mendapat sanksi moral dan sosial.
NW sudah tenang di alam kehidupannya. Kasus seperti ini jangan terus ada perulangan. Teruslah bergerak dan bersuara melawan ketidakadilan. Tapi tak perlu juga menjadi “tuhan” atas nama sesama. Tak usah menjadi hakim yang merasa paling bisa menjadi peng-adil.
Lebih baik, bantu mereka yang berada dalam posisi tertekan dan butuh pendampingan. Dukungan mental, moral, dan spiritual (juga bantuan tindakan hukum) jauh lebih berarti bagi pemulihan diri si ‘korban’.
Hendra Setiawan
6 Desember 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI