Mendampingi Korban Hamil di Luar Perkawinan Sah
Membaca kisah atau mendengarkan sharing pengalaman dari orang yang pernah terjerumus dalam hubungan terlarang pranikah, rasanya miris dan bisa membikin nangis.
Tentu ada dua sisi yang senantiasa hadir dalam menghadapi kasus seperti ini. Pertama adalah sikap menyalahkan pelaku. Perbuatan yang secara norma dan etika sosial tak patut. Juga secara agama bisa dianggap sebagai perbuatan “dosa”.
Kedua adalah sikap merangkul. Proses dan tindakan seperti ini yang tak akan mudah. Bukan berarti membiarkan atau melegalkan kesalahannya. Namun lebih pada proses ‘rekonsiliasi’. Baik itu kepada pihak keluarga dan hubungan batiniah.
Kasus remaja (pemudi) hamil di luar perkawinan yang sah, lantas si kekasih tadi tak mau bertanggung jawab, sebenarnya bukanlah hal yang baru sama sekali. Ada banyak varian kisahnya. Namun sekali lagi, yang rentan untuk dipermasalahkan dan kerap menjadi “double jeopardy” alias hukuman ganda adalah pihak wanita.
Stigma negatif ini hampir mutlak dialamatkan kepada si wanita ketimbang pria. Walaupun keduanya bisa disebut memiliki kesalahan yang sebanding. “Kenapa wanitanya mau? Kenapa tidak berteriak atau lari saja kalau memang tidak menginginkan terjadinya persetubuhan? Kenapa tidak putus saja dengan lelaki brengsek seperti itu?”
Ungkapan-ungkapan pedas seperti ini amat lazim terjadi. Akibatnya apa? Si wanita yang sudah mengalami depresi karena kekasihnya tak mau bertanggung jawab, mendapat justifikasi lanjutan. Bahwa dia juga di-cap turut menjadi penyebab dari kasus amoral yang terjadi itu.
Merangkul yang Terluka
Sepekan ini, kasus tewasnya NW (23), mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang yang awalnya ditengarai bunuh diri pada Kamis (2-12-2021) menyita perhatian publik.