Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dendang Biduan tentang Desa Tercinta

3 Oktober 2021   17:00 Diperbarui: 3 Oktober 2021   17:49 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati keindahan desa (foto: pxhere.com)

 (1)

Tasya, si 'Anak Gembala' pernah bersukaria lewat senandung riang lagunya. Sebagai anak gembala yang rajin bekerja, ia akan membawa ternak-ternaknya ke sebuah tempat. Padang rumput hijau yang subur di kaki bukit. Biar gemuk dan sehat, karena mereka makannya tak pernah sedikit.

Tapi, konon si Tasya yang sama juga menjadi anak kota. Suatu ketika pamannya datang dan membawa oleh-oleh hasil kebun. Paman Tasya berjanji akan mengajaknya liburan di desa.

Wah, betapa senangnya. Girang nian hati tiada terperi mendengar kata-kata ini. Sudah terbayang-bayang akan mandi dari air sungai yang segar. Turun ke hamparan sawah-sawah yang hijau menguning. Ingin juga rasanya ikut menggiring kerbau pulang ke kandang.

(2)

Lain cerita dengan lengkingan nada dari bunda Nicky Astria. Ia seakan protes mengenai kegersangan yang kini melanda desanya. Hilang entah ke mana keasrian yang dulu dirasakannya.

Ia seakan tak bisa lagi menikmati kembali keindahan alamnya. Tak nampak lagi luasnya sawah hijau yang terbentang sepanjang mata memandang. Tak nampak juga gembala dengan tiupan suara serulingnya, yang biasa terdengar saat istirahat siang tiba. Melantunkan kidung-kidung pujian yang menentramkan jiwa

Ah, di mana desah gemerisik dedaunan yang mewarnai alam ini? Mengapa gersang melanda wajah desaku? Seperti wajah orang, ia semakin pucat pasi tiada berseri. Tanah-tanah juga kering hingga merekah seakan sudah tiada lagi kehidupan.

Kepada siapa aku harus mengadu? Air sungai juga penuh dengan sampah limbah industri. Kepada siapa harus bertanya jika kemudian bencana datang. Ulah siapa yang menyebabkan ini semua? Kepada siapa tuturan resah hati ini ditujukan?

(3)

Lantunan melodi yang dimainkan oleh Gombloh lewat syair 'Berita Cuaca' seperti menggugat; mengenang lagi masa ketika bumi masih indah terasa, alam yang asri dan lestari.

Desa, tempatnya Sang Pencipta menitipkan seorang jabang bayi untuk menghirup nafas pertama di bumi. Ia bersuka karena bisa menyaksikan nyanyian para bocah di kala datangnya bulan purnama. Senandung puja untuk nusa dan bangsa tercinta. Cerita tentang kesuburan tanah Nusantara yang tata tenterem kartaraharja.

Ah, tapi itu semua tinggal dongeng belaka sepertinya, karena kini banyak tanah yang menjadi rawan. Bukit-bukit sudah banyak yang telanjang berdiri. Pun dengan pohon dan rumput, sudah enggan bersemi kembali. Apalagi kawanan burung, malu bernyanyi karena melihat kerusakan alam yang parah ini.

(4)

Nyanyian suka dan duka yang para pelantun di masanya ini rasa-rasanya kualami juga. Dulu akupun pernah merasakan segarnya menikmati derasnya aliran air di sungai. Pergerakan airnya masih kencang. Bening hingga terlihat ke dasar sungai. Beramai-ramai dengan banyak orang, memanfaatkan air yang sama yang datangnya dari pegunungan itu.

Jalanan juga tak terlalu ramai dengan lalu-lalangnya kendaraan bermotor. Masih banyak kulihat hamparan sawah seantero desa,  tempat aku pernah berlibur di rumah paman. Masih terasa kesejukan alamnya.

Namun, sekian tahun tak lagi ke sana, pemandangan sudah banyak berubah. Jalanan tanah berganti aspal yang mulus. Deretan rumah dan pabrik saling mengisi, menggantikan tanah persawahan.

Sungainya sudah tak nampak lagi. Sudah menjadi kecil bentuknya, demikian juga aliran airnya. Sisa-sisa mereka yang tetap menjadi petani, kini harus berjuang dengan membuat sumur bor jika ingin mendapatkan air.

Adakah si anak gembala? Tentu saja tak usah banyak berharap untuk gampang menemukannya. Menjejakkan kaki di pematang sawah saja, tanahnya sudah banyak yang berongga dan kering. Mau bermain di mana lagi anak zaman sekarang?

Purnama masih dalam kesendirian dan kesetiaanya hadir. Ia tetap bisa hadir untuk menampakkan keindahan sinarnya. Tapi para bocah sudah senyap dalam kesendiriannya. Jangankan untuk bernyanyi bersama, bermain beramai-ramai saja sudah jarang dilakukan. Mereka senyap dengan gadgetnya, teman abad modern.

Bergembiralah seandainya masih menemukan ada burung-burung yang nyasar dan hinggap di sebuah pepohonan. Sepertinya ia ingin menyampaikan pesan. Buatlah rumah perteduhan buat kami, jika ingin merasakan harmoni bumi.

3 Oktober 2021

Hendra Setiawan

*) Sebelumnya: Menuliskan "Cerita Hari Ini"

**) Artikel Utama:  Cara Pintar Mengelola Aneka Limbah Dapur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun