Sebuah Pengalaman
Di kampung sebelah rumah saya, tinggal seorang 'bule' beserta istri dan anaknya. Saya tidak tahu persis dia siapa. Namun kalau hari Minggu pagi usai olahraga bersepeda tak jarang berjumpa dengan mereka.
Nah, tadi pagi sekitar jam 10, kami sempat berpapasan. Dia menaiki sepeda onthel; gowes entah ke mana. Tak memakai topi atau penutup baju di lengan. Atasannya memakai semacam kaos oblong permainan basket. Bawahannya hanya bercelana pendek se-dengkul. Nyantai saja sepertinya, namun kayuhannya tak lambat juga. Sambil senyum ceria ia berkata menyapa, "Selamat pagi..."
Eh, dasar bule, wkwk! Ya, "Selamat pagi..." jawab saya sambil melaju juga.  Tapi, entahkah ia tahu atau tidak kalau saya juga menyambut dengan senyum yang sama, lha tertutup masker :).
Kebanyakan orang Indonesia kalau jam-jam nanggung seperti ini biasanya sudah malas ke luar rumah. Tapi, ini orang enak sekali rasanya menikmati limpahan cahaya matahari. Seperti tak takut kulit jadi kemerahan, tambah gosong.Â
Orang berjemur di bawah matahari kalau sudah jam 9 saja rasanya sudah tak nyaman rasa panasnya. Apalagi jika jam-nya sudah bertambah siang, jadi tambah malas. Beda jika masih jam 7-9 pagi, hangatnya masih enak dirasakan.
Barangkali sama membayangkan ketika berada di pantai, para bule santai saja berjemur di bawah sinar matahari. Sementara, warga lokal, kita sendiri kebanyakan justru mencari tempat perteduhan. Menghindari paparan matahari secara berlebihan.
***
Kejadian ini mengingatkan lagi pada curhatan warga pendatang yang kini juga bermukim di Kota Pahlawan ini. Sudah 10 tahunan ikut suami yang bekerja di sini. Ingin ia mengajak suami dan anaknya pulang ke daerah asalnya di Jawa Tengah. Kota yang hawanya lebih dingin ketimbang kota pesisir ini.
Namun dengan berbagai pertimbangan, mau tak mau akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan menetap. Tinggal di rumah yang atapnya asbes, pada musim kemarau atau panas, rasanya tinggal di rumah seperti masuk dapur pemanggangan roti.