Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita-cerita Menikmati Matahari

27 September 2021   17:18 Diperbarui: 29 September 2021   04:38 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto orang bersepeda (gambar diambil dari pixabay.com dan pexels.com)

Bulan Maret dan September adalah masa ketika matahari berada dalam lintasan semu di titik nol khatulistiwa. Akibatnya, intensitas panasnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan lainnya, saat ia berada di garis balik titik selatan utara (Tropic of Cancer; 23,4 derajat Lintang Utara) atau selatan (Tropic of Capricorn; 23,4 derajat Lintang Selatan)

Uniknya, ketika ia menyapa di lintasan itu, masyarakat Indonesia bisa menyaksikan fenomena Hari Tanpa Bayangan (HTB). Dinamakan seperti ini karena ketika posisi matahari berada di atas Indonesia, tidak ada bayangan yang terbentuk oleh benda tegak tak berongga saat tengah hari.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyebutkan fenomena ini bisa diamati mulai 6 September hingga 21 Oktober 2021. Tergantung dari posisi kota/kabupaten yang ada di Indonesia, yang besaran luasnya membentang dari 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan (6 LU - 11 LS).

Misalnya saja, kota Jakarta akan mengalami HTB pada 9 Oktober 2021 pukul 11.39.54 WIB. Bandung, Semarang dan Surabaya mengalami HTB di tanggal yang sama namun beda waktunya. Masing-masing pada 11 Oktober 2021 pukul 11.36.19 WIB, pukul 11.25.04 WIB, dan pukul 11.15.44 WIB. Solo alias Surakarta mengalami HTB pada 12 Oktober 2021 pukul 11.23.10 WIB. Sedangkan Yogyakarta mengalami HTB pada 13 Oktober 2021 pukul 11.24.47 WIB. Jadi meskipun masih satu pulau Jawa, namun waktunya bisa berbeda tanggal.

Namun seperti Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, perbedaan waktu ini bisa berbeda jauh. Misalnya HTB di Medan pada 13 September 2021 pukul 12.21.15 WIB, namun HTB di Bandar Lampung pada 7 Oktober 2021 pukul 11.46.48 WIB. Di Pontianak HTB terjadi pada 23 September 2021 pukul 11.35.05 WIB, namun di Banjarmasin pada 1 Oktober 2021 pukul 12.11.19 WITA. Di Manado HTB terjadi pada 19 September 2021 pukul 11.34.25 WITA, namun di Makassar pada 6 Oktober 2021 pukul 11.50.24 WITA. Di Manokwari HTB terjadi pada 25 September 2021 pukul 11.55.26 WIT, namun di Merauke pada 14 Oktober 2021 pukul 11.24.27 WIT.

Satu Matahari, Berbeda Rasa

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis pula daftar wilayah dengan suhu harian terpanas di Indonesia, sepanjang Agustus 2021. Dari 10 kota terpanas di Indonesia itu, terdapat nama seperti berikut. Untuk kemudahan baca, saya rangkum berdasarkan dari angka yang tertinggi hingga terendah.

Tabel suhu harian tertinggi Agustus 2021 (olahan dok. pribadi)
Tabel suhu harian tertinggi Agustus 2021 (olahan dok. pribadi)

Namun demikian, catatan BMKG menyebutkan, suhu tertinggi yang pernah terjadi di Indonesia, rekornya masih dipegang oleh Kota Semarang. Suhu pada tahun 2015 itu angkanya sebesar 39,5 derajat Celcius.

Hari ini suhu tertinggi di Surabaya adalah 33 derajat Celcius, berdasarkan situs aplikasi accu weather. Sementara 7 hari ke depannya meningkat menjadi 34 derajat Celcius. Jangan ditanya panasnya seperti apa, ya, hehe....

Sebuah Pengalaman

Di kampung sebelah rumah saya, tinggal seorang 'bule' beserta istri dan anaknya. Saya tidak tahu persis dia siapa. Namun kalau hari Minggu pagi usai olahraga bersepeda tak jarang berjumpa dengan mereka.

Nah, tadi pagi sekitar jam 10, kami sempat berpapasan. Dia menaiki sepeda onthel; gowes entah ke mana. Tak memakai topi atau penutup baju di lengan. Atasannya memakai semacam kaos oblong permainan basket. Bawahannya hanya bercelana pendek se-dengkul. Nyantai saja sepertinya, namun kayuhannya tak lambat juga. Sambil senyum ceria ia berkata menyapa, "Selamat pagi..."

Eh, dasar bule, wkwk!  Ya, "Selamat pagi..." jawab saya sambil melaju juga.  Tapi, entahkah ia tahu atau tidak kalau saya juga menyambut dengan senyum yang sama, lha tertutup masker :).

Kebanyakan orang Indonesia kalau jam-jam nanggung seperti ini biasanya sudah malas ke luar rumah. Tapi, ini orang enak sekali rasanya menikmati limpahan cahaya matahari. Seperti tak takut kulit jadi kemerahan, tambah gosong. 

Orang berjemur di bawah matahari kalau sudah jam 9 saja rasanya sudah tak nyaman rasa panasnya. Apalagi jika jam-nya sudah bertambah siang, jadi tambah malas. Beda jika masih jam 7-9 pagi, hangatnya masih enak dirasakan.

Barangkali sama membayangkan ketika berada di pantai, para bule santai saja berjemur di bawah sinar matahari. Sementara, warga lokal, kita sendiri kebanyakan justru mencari tempat perteduhan. Menghindari paparan matahari secara berlebihan.

Ilustrasi bersepeda (gambar via portal.belitung.go.id)
Ilustrasi bersepeda (gambar via portal.belitung.go.id)

***

Kejadian ini mengingatkan lagi pada curhatan warga pendatang yang kini juga bermukim di Kota Pahlawan ini. Sudah 10 tahunan ikut suami yang bekerja di sini. Ingin ia mengajak suami dan anaknya pulang ke daerah asalnya di Jawa Tengah. Kota yang hawanya lebih dingin ketimbang kota pesisir ini.

Namun dengan berbagai pertimbangan, mau tak mau akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan menetap. Tinggal di rumah yang atapnya asbes, pada musim kemarau atau panas, rasanya tinggal di rumah seperti masuk dapur pemanggangan roti.

Pada waktu-waktu tertentu, ngadem di taman kota menjadi alternatif pilihan. Si anak bermain, ia nyaur (membayar hutang) tidur malam sebelumnya. Maklumlah, kipas angin yang non-stop berputar tak jua mampu mendinginkan ruangan. Panasnya Surabaya seperi menjadi momok.

Namun cerita berbalik 180 derajat. Covid-19 menyerangnya. Mau tak mau, atas saran tim medis ia harus berjemur tiap hari selama dua pekan. Dan pada saat itulah ia kemudian menyadari kalau matahari yang selama ini dianggapnya musuh, menjadi semacam 'dewa penolong'nya. Musuh berubah menjadi kawan.

Panas matahari yang yang dulu tidak disukainya, kini sudah tak menjadi masalah besar. Ia akhirnya berdamai dengannya. Cara pandang berubah akibat dari peristiwa yang dialaminya.

Olahraga dan berjemur untuk kesehatan (gambar via alodokter.com)
Olahraga dan berjemur untuk kesehatan (gambar via alodokter.com)

***

Ya, intensitas cahaya matahari bisa dipandang baik atau buruk; berguna atau tidak, akan kembali kepada pribadi yang mengalaminya. Setiap orang punya pengalaman dan sikap yang berbeda-beda.

Panas matahari yang lagi "hot-hot"-nya ini dialami oleh semua orang tanpa terkecuali. Menerimanya dengan cara bersyukur atau bersungut adalah sebuah pilihan.

27 September 2021

Hendra Setiawan

*) Bacaan:  Merdeka,  TribunNews,  Kompas,  Betahita 

**)  Artikel Utama lainnya:

Haus Tak Hilang Walaupun Sudah Minum, Waspada Dehidrasi

Makan Sedikit Juga Bisa Gemuk, Bagaimana Mendapatkan Berat Badan Ideal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun