Di luar bidang akademisnya, Pak JES termasuk orang yang religius. Konon, teras rumahnya kerap juga menjadi tempat Zondag-School (Sunday School, Sekolah Minggu; pengajaran iman Kristen untuk anak-anak). Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Institut Alkitab Tiranus, Bandung, pada 1993.
Selain di Unair, jabatan lain yang diemban Pak JES adalah menjadi Rektor Universitas Kristen Petra, Surabaya (1966-1969). Sementara di kancah politik, menjadi anggora DPR pada periode 1999-2004.
Saya memang tak terlalu dekat dengan beliau. Hanya sekali ikut pertemuan tatap muka dalam kegiatan formal di kampus. Itupun pada saat seremoni emiritasinya sebagai guru besar atau dosen di almamaternya.
Salah satu kata-kata yang juga menjadi judul makalahnya yang hingga kini masih teringat adalah, “Apakah dengan mengatakan kebenaran, aku menjadi musuhmu?”
Sama seperti tulisan-tulisan pada karya bukunya, atau lewat ungkapan kata yang bisa disaksikan lewat televisi atau dalam forum yang lain. Ia tak hanya mengajarkan soal teori dan praktik hukum, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Namun yang terlebih penting adalah mengajarkan bagaimana agar nurani tetap bekerja dan jangan mati.
Siapapun yang bergerak di bidang hukum, perlu untuk memiliki integritas dan moralitas yang baik. Jangan pernah mempermainkan hukum. “Belilah kebenaran, dan jangan menjualnya.” Kutipan yang juga sering dikemukakan oleh pria yang disertasinya mengangkat tema Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana.
Memiliki usia hingga 89 tahun (1932-2021) adalah anugerah yang luar biasa. Pak JES meninggalkan seorang istri dan 4 putri.
Ibarat olahragawan, ia telah mengakhiri pertandingan dengan baik. Banyak karya tulis (buku cetak dan makalah) yang diterbitkan, yang akan menjadi warisan abadi.
Selamat berpulang dalam keabadian. Semangat dan integrasimu, biarlah kelak terwariskan oleh para anak bangsa yang ingin melihat Indonesia punya hukum yang benar-benar berwibawa...
21 September 2021