Menjadi pengajar di di Fakultas Hukum Unair mulai 1959, Pak JES (singkatan namanya) sering pula menyelipkan analogi untuk mempermudah pemahaman masyarakat awam. Misalnya untuk memperbaiki institusi yang ‘bobrok’, benahi dulu kepalanya.
Seperti orang mandi, membersihkan diri terlebih dulu akan dimulai dari atas (wajah), terus turun ke bawah. Bukan dari kaki ke atas. Pun demikian dengan ikan; pembusukan mulai terjadi dari kepala kemudian ke ekor.
Pemimpin yang baik, yang lurus, dan benar akan menjadi teladan sampai ke bawah. Pembenahan itu dilakukan dari atasnya dulu, lalu turun terus hingga ke tingkat paling bawah.
“Ya, kita harus mulai dengan yang kecil. Sehari selembar benar, lama-lama menjadi kain. Saya yakin itu bisa. Kain kebenaran, kain penegakan hukum dan sebagainya bisa dirajut, asal kita semua rajin mengumpulkan semua benang-benang kita dan menenunnya.”
Mendapatkan model pendidikan ala Barat dengan disiplin moral dan etik yang tinggi, sama seperti para pelaku sejarah kemerdekaan. Faktor inilah yang juga bisa dilihat dari cara Pak JES memberikan pengajaran kepada para mahasiswanya. Integritas dan kejujuran menjadi catatan sendiri baginya.
Guru besar emiritus hukum pidana, kriminolog dan Ketua Hukum Nasional (2000-2004) ini merasa sedih melihat pendidikan di masa kini, terutama di zaman Orde Baru dan Orde Reformasi. “Untuk apa polisi harus ikut dalam rangka pengamanan soal-soal ujian? Di manakah harkat, martabat, etik, dan moral para guru?”
Bayangkan juga ketika ada murid yang jujur, keluarganya akhirnya harus pindah rumah. Mereka dimusuhi hanya karena tidak mendukung untuk melakukan contek massal satu kelas biar lulus ujian. “Pendidikan seperti ini adalah semacam bibit korupsi,” tulisnya di salah satu media massa kala itu.
Ilmu dan Iman
Pendidikan hukum Pak JES, untuk tingkat strata 1 dan 3 dilakukan di Unair pada 1959 (S-1 jurusan kepidanaan) dan 1978 (S-3 ilmu hukum. Sedangkan strata 2 di Business and Industrial Relations, University of Utah, Salt Lake City, USA pada 1962.