Delik aduan artinya sebuah ‘kasus’ baru dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Misalnya: perzinahan, penghinaan, pencemaran nama baik, pelanggaran HAKI (hak atas kekayaan intelektual), pencurian dalam keluarga.
Delik biasa berarti sebuah dalam sebuah kasus atau perkara dapat diproses walaupun tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Misalnya: penganiayaan, pembunuhan, pencurian (pada umumnya), perampokan, penggelapan, pemerkosaan.
Nah, kembali pada kasus pencurian 65 item barang yang terjadi di Blitar, bukankah semestinya kasus ini termasuk “delik biasa”? Walaupun si korban juga melakukan pengaduan dan kemudian mencabut kembali laporannya. Bukankah ada ‘kewajiban’ bagi penegak hukum untuk melanjutkan kasusnya walaupun telah ada ‘perdamaian’ di antara para pihak?
Hal ini jelas berbeda jika perkaranya termasuk delik aduan. Selama korban dan tersangka belum “berdamai”, laporan juga belum dicabut, perkara masih berjalan. Kecuali sebaliknya, proses hukum akan berhenti. Selesai.
Perdamaian antara korban dan tersangka alias pelaku tindak pidana secara emosional atau pendekatan humanis dalam adat budaya bangsa Indonesia adalah hal yang lumrah.
Apalagi ada anggapan kuat, masuk ke persidangan itu lama proses waktunya. Tentunya juga akan memakan biaya yang besar. Jadi lebih baik kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja. Lebih simpel waktunya dan tak dana yang dibutuhkan juga bisa lebih sedikit.
Namun demikian, sebenarnya ketentuan tertulis secara tersurat atas hal ini tidaklah diketemukan dalam sistem hukum kita. Model pendekatan hukum dalam menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan ala "restorative justice" nampaknya menjadi alternatif jalan tengah guna memenuhi asas ketertiban dan keadilan dalam hukum.
Restorative Justice -sebagaimana dikemukakan pihak penyidik yang menangani kasus ini- secara sederhana diartikan sebagai sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Model pendekatan ini muncul sebagai bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana yang cenderung mengarah pada tujuan “retributif”. Apakah itu? Pemidanaan yang menekankan pada pembalasan dan mengabaikan peran korban dalam terlibat menentukan proses perkaranya.
Model penerapan restorative justice yang dikembangkan ini sebetulnya berasal dari telegram (surat edaran) Kapolri yang terbit pada 22 Februari 2021 lalu. Tindak pidana ini secara khusus terkait pada pengenaan UU ITE. Kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan dapat dilakukan melalui restorative justice. Sehingga penyidik Polri tidak perlu melakukan penahanan pada seseorang.
Namun tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran, tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.