Tabu
Perkawinan di Indonesia secara sosial bukan hanya mempersatukan dua insan ke dalam ikatan keluarga yang baru. Namun juga mempertemukan dua keluarga dari masing-masing si calon.Â
Kalau pilihan childfree bisa diterima oleh kedua orang tua dari kedua belah pihak, persoalan lebih mudah. Namun jika ada orang tua yang berkeinginan momong (mendapatkan) cucu, tentu ini jadi sebuah masalah baru yang bisa berkepanjangan.
Apakah ini berarti mereka (pasangan baru) itu tidak mempunyai tanggung jawab terhadap "hukum perkawinan"? Bisa jadi demikian. Pada satu sisi mereka dianggap "tidak normal atau lazim" oleh lingkungannya.Â
Jadi bahan omongan, mengalami perundungan, dan seterusnya. Mereka dianggap egois karena hanya memikirkan kesenangan berdua semata.
Namun dari sisi sebaliknya, pilihan sadar childfree adalah sebuah keputusan rasional yang bertanggung jawab. Mereka menjadi sabar, mandiri, siap jadi bahan celaan, dan percaya diri pada pilihan hidupnya.
Di luar nalar logis, pasangan yang memilih childfree bisa jadi merasa karena anak bukanlah seperti sebuah "aset". Mendidik dan merawat mereka dengan sebaiknya agar kelak ketika mereka besar, ganti bisa merawat kedua orang tuanya. Itu bukan pola pemikiran yang tepat.
Mereka seolah menentang stereotip di masyarakat bahawa wanita dalam berumah tangga hanya dipersiapkan untuk hamil ,melahirkan, dan merawat anak. Sementara pihak laki-laki diharapkan berperan menjadi kepala keluarga bagi istri dan anak mereka.
Childfree vs Childless
Sebuah pilihan, dampak sosialnya tidak hanya terjadi pada yang bersangkutan, Namun juga pada lingkungan komunitas yang jauh lebih besar.
Ada baiknya juga soal childfree ini bisa menggelinding menjadi percakapan umum di jagad maya. Persoalan bersama ranah privat bisa diangkat dan dibahas secara publik. Jadi bisa lebih tahu duduk persoalan, bisa lebih banyak aspek yang bisa dimengerti, dan akhirnya cara menyikapinya lebih tepat (bijak).