Ya, sudahlah, tak bisa bisa dipaksakan juga kalau itu yang terjadi. Kalau tak mampu masih bisa belajar dan dibantu. Namun kalau sudah tak mau, terus bagaimana caranya supaya bisa bergerak? Ini bukan hal yang mudah mengatasinya.
Alasan lain muncul juga jadi problem klasik. Tak mudah untuk bercerita di muka umum, apalagi cerita yang bersifat personal atau dianggap secret (rahasia pribadi). Padahal sebanarnya yang dibutuhkan adalah cerita versi umumnya. Bukan soal identitas diri siapa yang terlibat di sana. Itu juga tak bisa diungkap ke publik. Rambu-rambunya memang seperti itu.
Justru dengan kisah-kisah 'heroik' yang ada, bisa ditulis, akan mampu memantik reaksi. "Oh, ternyata ceritanya mirip denganku, dengan temanku, dengan saudaraku. Solusinya ternyata seperi begitu, bukan begini. Dan seterusnya..."
Juli ini, hampir saban hari ada saja berita duka, mohon doa untuk kesembuhan, butuh informasi pendonor, info obat, tabung oksigen, tempat perawatan, dan semacamnya. Mengalir terus berdatangan. Rasanya menyesakkan juga, apalagi jika nama yang disebutkan sudah dikenal baik atau dalam lingkaran terdekat.
Memperkuat Rantai Kebaikan
Saya merasakan, sebenarnya 'rantai kebaikan' itu masih ada dalam genggaman tangan yang sama. Ia tidak terputus atau terlepas sama sekali. Tidak berubah dan masih ada pada manusia yang dianggap sebagai makhluk sosial.
Cepat sekali berita atau info mohon pertolongan itu sampai ke mana-mana. Seperti sebuah pepatah, "Sepanjang-panjangnya jalan, lebih panjang mulut manusia."
Atau dalam konteks sekarang, ya lebih panjang "klik jemari tangan". Kenal tidak kenal, butuh tidak butuh, informasi berharga kerap dibagikan di kanal media sosial.
Orang-orang yang punya inisiatif membagikan makanan kepada warga isoman (isolasi mandiri), tetangga yang mau merawat anak yang ditinggalkan orang tua karena harus berjuang di RS, memberikan donasi kepada yang terpapar virus atau yang berduka, dan beragam bentuk kebajikan lain adalah bukti nyata bahwa kebaikan hati itu tidaklah luntur dan pupus.
Jiwa belas kasih, gotong-royong, empati. solidaritas terhadap sesama yang membutuhkan, adalah wujud dari karakter asli bangsa ini. Bukan berapa besaran nominal yang bisa diberikan. Itu hanya nomor kesekian. Justru yang lebih penting adalah munculnya jiwa-jiwa penolong yang lebih banyak tak terekspos media.