Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memperkuat Rantai Kebaikan

31 Juli 2021   18:45 Diperbarui: 31 Juli 2021   18:52 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com/geralt

Masa pandemi seperti ini, ada beragam cerita yang terjadi di masyarakat. Tetapi cerita ini bisa jadi dua kutub yang berseberangan. Kutub yang satu bernada pesimis, aura negatif. Kutub yang satu tetap bernada positif dan optimis.

Dalam pemberitaan media ataupun lewat media sosial, tak jarang keduanya bertemu. Tentu saling sindir dan serang terjadi. Masing-masing berangkat dari pemahaman yang sudah terbentuk sebelumnya.

Pandemi di negeri ini dinyatakan resmi ada sejak awal Maret 2020. Esok hari sudah memasuki awal bulan kedelapan. Sudah 17 bulan berjalan. Ada usaha yang masih mampu bertahan, menyesuaikan dengan keadaan dan perubahan yang terjadi. Ada usaha yang sudah gulung tikar karena tak bisa beradaptasi. Ada usaha yang masih bisa terus bertahan walau dalam ketidakstabilan.

Kondisi seperti ini memaksa setiap individu memiliki ragam cara untuk menyikapinya. Sebab bagaimanapun roda waktu akan terus berputar dan berjalan. Siap tak siap harus bisa menjalaninya.

Di antara banyak peristiwa yang ada, kena Covid-19 bisa jadi "warning". Peringatan seberapa tahan daya dukung tubuh menghadapi ancaman virus yang mirip dengan influenza ini. Kalau tubuhnya kuat, dia selamat. Namun kalau ternyata bagian tubuhnya ternyata sudah ada penyakit bawaan, "Tabahkanlah hatimu...".

Perang melawan virus ini bukan hanya persoalan kesehatan semata, namun juga perang melawan situasi sosial. Ada banyak "narasi sesat" yang terus bermunculan menghadapi "narasi sehat" juga tak hentinya disebarluaskan.

Energi bisa habis jika hanya bersifat reaktif memukul balik terhadap hoaks. Sementara ada banyak sejuta kebaikan cerita yang sebenarnya mampu muncul di tengah riak kegaduhan itu. Sejuta kebaikan yang kalah gaungnya dengan kisah-kisah menyedihkan dan menggores luka. Sejuta kebaikan yang semestinya lebih layak dan pantas untuk diviralkan dan menjadi sebuah inspirasi dan keteladanan.

 

Sederhana yang Bermakna

Sebenarnya saya punya angan-angan membantu menyusun kisah perjuangan para penyintas atau relawan yang terlibat dalam sebuah 'misi kemanusiaan'. Namun ternyata memang tak mudah untuk merealisasikannya. Salah satunya karena alasan klasik "Saya ndak bisa menulis".

Ya, sudahlah, tak bisa bisa dipaksakan juga kalau itu yang terjadi. Kalau tak mampu masih bisa belajar dan dibantu. Namun kalau sudah tak mau, terus bagaimana caranya supaya bisa bergerak? Ini bukan hal yang mudah mengatasinya.

Alasan lain muncul juga jadi problem klasik. Tak mudah untuk bercerita di muka umum, apalagi cerita yang bersifat personal atau dianggap secret (rahasia pribadi). Padahal sebanarnya yang dibutuhkan adalah cerita versi umumnya. Bukan soal identitas diri siapa yang terlibat di sana. Itu juga tak bisa diungkap ke publik. Rambu-rambunya memang seperti itu.

Justru dengan kisah-kisah 'heroik' yang ada, bisa ditulis, akan mampu memantik reaksi. "Oh, ternyata ceritanya mirip denganku, dengan temanku, dengan saudaraku. Solusinya ternyata seperi begitu, bukan begini. Dan seterusnya..."

Juli ini, hampir saban hari ada saja berita duka, mohon doa untuk kesembuhan, butuh informasi pendonor, info obat, tabung oksigen, tempat perawatan, dan semacamnya. Mengalir terus berdatangan. Rasanya menyesakkan juga, apalagi jika nama yang disebutkan sudah dikenal baik atau dalam lingkaran terdekat.


Memperkuat Rantai Kebaikan

Saya merasakan, sebenarnya 'rantai kebaikan' itu masih ada dalam genggaman tangan yang sama. Ia tidak terputus atau terlepas sama sekali. Tidak berubah dan masih ada pada manusia yang dianggap sebagai makhluk sosial.

Cepat sekali berita atau info mohon pertolongan itu sampai ke mana-mana. Seperti sebuah pepatah, "Sepanjang-panjangnya jalan, lebih panjang mulut manusia."

Atau dalam konteks sekarang, ya lebih panjang "klik jemari tangan". Kenal tidak kenal, butuh tidak butuh, informasi berharga kerap dibagikan di kanal media sosial.

Orang-orang yang punya inisiatif membagikan makanan kepada warga isoman (isolasi mandiri), tetangga yang mau merawat anak yang ditinggalkan orang tua karena harus berjuang di RS, memberikan donasi kepada yang terpapar virus atau yang berduka, dan beragam bentuk kebajikan lain adalah bukti nyata bahwa kebaikan hati itu tidaklah luntur dan pupus.

Jiwa belas kasih, gotong-royong, empati. solidaritas terhadap sesama yang membutuhkan, adalah wujud dari karakter asli bangsa ini. Bukan berapa besaran nominal yang bisa diberikan. Itu hanya nomor kesekian. Justru yang lebih penting adalah munculnya jiwa-jiwa penolong yang lebih banyak tak terekspos media.

 

Merangkai Cerita Kebaikan

Ada kalimat satir yang ditujukan kepada mereka yang suka menebar fitnah dan kebencian. Mereka yang gemar melakukan narasi sesat dan menebar hoaks. "Barangkali mereka adalah makhluk yang kesepian dan tak punya teman, tak punya saudara. Sungguh kasihan mereka itu."

Bisa jadi ada benarnya. Kalau mereka punya relasi yang baik dengan keluarga, dengan teman, ucapan yang keliru saja bisa jadi masalah. Maka, sebelum berlanjut, buru-buru minta maaf, klarifikasi, biar tak salah paham. Lebih cepat clear (memperdamaikan diri) akan lebih baik.

Sejuta kebaikan bisa terjadi lewat beragam cara. Bisa tindakan nyata, tapi pun dengan yang tak kasat mata. Sebagai orang beriman, doa yang baik dan tulus juga menjadi imun yang bagus.

Jadi kalaupun merasa tak mampu berbuat apa-apa kepada mereka yang memerlukan bantuan, doakanlah yang terbaik buat mereka. Bukankah Dia juga turut bekerja melalui beragam cara yang tak pernah manusia sanggup pikirkan?

Selamat merangkai cerita sejuta kebaikan....

31  Juli 2021

Hendra Setiawan

*) Sebelumnya:  Toxic Positivity; Perilaku Positif yang Bisa Jadi Negatif (Bagian 2/2)   dan  Dua Sisi Toxic Positivity (Bagian 1/2)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun