Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif.
Baik 'kan, ya, orang punya mental atau pikiran seperti ini? Menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang positif saja. Walaupun orang memandangnya secara negatif, tapi dia melihatnya dari sisi yang sebaliknya. Jadi tetap bernilai positif.
"Jangan menyerah... Tetap semangat... Berusaha lagi lebih keras... Positive thinking... Bersyukurlah karena ada yang lebih buruk dari itu... Kamu tidak sendirian..." adalah beberapa contoh kata yang bisa dikenali. Semacam kata pembangun rasa percaya diri dan penghiburan.
Intinya adalah kata-kata yang bisa memberikan motivasi, semangat pada diri sendiri dan orang lain. Membuat supaya jangan mudah putus asa, tapi tetap punya harapan tinggi.
Baik tapi Bisa Tidak Tepat
Situasi emosional yang kelihatannya baik seperti di atas, pada tataran tertentu sebenarnya malah punya dampak yang tidak sepenuhnya baik pada seseorang. Â Bisa memicu gangguan psikis dan emosional.
Misalnya, orang yang sedang berduka disuruh melihat sisi baiknya. Rasa tidak nyamanlah  justru yang akan muncul di permukaan.
Orang bersedih karena saudaranya meninggal dalam kecelakaan atau menjadi korban salah sasaran. Lantas, apa sisi baiknya yang bisa diangkat? Luapan emosi, perasaan duka, sedih seperti ini tidak bisa serta merta bisa dihibur dengan kata-kata baku.
Memperhatikan dan mempertimbangkan konteks peristiwa yang terjadi juga perlu untuk dipahami secara bijak. Mencoba menggantikan sisi negatif dan mengubahnya ke sisi positif itu baik. Namun pada konteks peristwa di atas menjadi tidak tepat. Seolah-olah perasaan sedih, beban negatif itu tak penting bagi lawan bicara yang memberikan toxic positivity.
Jadi kalau dibuatkan dalam kalimat langsung, "Jangan bersedih...", atau kalimat pembangkit semangat lainnya, masih lebih baik untuk memberikan efek ketenangan terlebih dulu.Â
"Saya juga bisa merasakan kesedihanmu. Mengapa ia meninggal dengan cara seperti itu. Berat memang untuk menerimanya, Tapi saya berharap kamu nanti jangan terus bersedih, ya... Kalau mau menangis, menangislah... "
Anggaplah seperti sedang mengendarai mobil. Membawa penumpangnya tidak langsung masuk jalur tol yang lurus dan panjang. Tapi bisa memperlihatkan dulu keindahan pemandangan di sekeliling jalan berkelok yang dilewati. Masuk jalan tol menjadi sasaran antara atau berikutnya.
Perasaan atau emosi punya pesan yang berbeda-beda, Bisa senang, gembira, suka, dan lain-lain yang bernada plus. Bisa juga sedih, marah, kecewa, dan sebagainya yang bernilai minus.
Emosi yang tidak natural, dibuat-buat, beda antara berdiam sendiri dan di hadapan banyak orang, justru menjadikan kecenderungan seseorang mengalami kondisi psikosomatis.Â
Sebuah kondisi kejiwaan dari menumpuknya emosi negatif yang tidak bisa dikendalikan. Ia tidak sanggup untuk menutupi dan pengakuan akan kekurangannya. Â Bahwa ia bukanlah tipe orang yang hebat, tegar, kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit.
Pemulihan diri yang cepat, instan dari situasi yang tidak menyenangkan, itu adalah harapan bagi orang banyak yang melihatnya. Namun pada orang itu sendiri yang masih larut dalam situasi berduka, tidak bisa serta merta mewujudkannya. Apalagi jika nanti muncul serbuan kalimat sakti yang berangkat dari ayat suci. "Tetaplah bersyukur! Ini jalan terbaik yang diberikan-Nya."
Alih-alih membantu dan menghibur, ekspetasi berlebihan justru malah mengaduk emosi orang yang berduka tersebut. "Memang gampang yang mengatakannya. Coba saja kalau bisa bertukar peran. Apa juga mampu mengatakan hal yang sama? Beriman dan beramal sudah dijalani, tapi kok tetap dapat musibah!"
Berbagi EmpatiÂ
Orang yang ditimpa kemalangan, mengalami duka, tak bisa serta merta mereka diberikan nasihat, dorongan untuk segera melupakan kejadian, berpikir postif dan senantiasa bersyukur. Justru hanya menjadi pendengar baik, memberi kesempatan mereka untuk mengekspresikan emosinya hingga reda dan ia merasa lega, bisa menjadi 'obat' yang efektif.
Jadi ada kalanya, tak selalu berpikir positif ketika mendapatkan masalah adalah cara penyelesaian yang tepat. Justru beban itu bisa memicu munculnya stres atau bahkan depresi.
Berpikir positif bisa jadi hanya menjadi tameng sesaat. Sementara persoalan dasarnya belum terselesaikan dengan tuntas.
Merasa "baik-baik saja" walaupun kondisi sebenarnya sedang "tidak baik-baik saja." Ini seperti sebuah pelarian diri.
Toxic positivity walaupun punya efek baik, sekali lagi perlu melihatnya secara komprehensif; lebih luas dan menyeluruh. Juga pada kasus-kasus tertentu, ia malah jadi tak berlaku. Jadi perlu untuk lebih 'cerdik' dalam bertindak.
Menumbuhkan perasaan positf seperti kegembiraan, harapan, semangat, inspirasi bagi setiap orang pada dasarnya baik. Tidak saja pada orang lain atau lingkungan; tapi juga pada diri sendiri. Hal ini tentunya bisa menjadi penyeimbang dari potensi dampak negatif dari masa-masa sulit ketika seseorang mengalami tekanan (mental dan sosial).
29 Juli 2021
Hendra Setiawan
*) Bacaan: Â Tirto, Â HelloSehat, Â Merdeka, Â KompasÂ
**) Â Sebelumnya: Â Dua Sisi Toxic Positivity (Bagian 1/2)
***) Tulisan lain (Artikel Utama):
Cegah Perundungan pada Anak dari Sekarang!
Pengalaman Ikut Vaksinasi Massal dan Upaya Meningkatkan Sisi Kesadaran Kemanusiaan
Niat Berbuat Baik, Ending-nya Malah Jadi Tidak Baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H