Jadi ada kalanya, tak selalu berpikir positif ketika mendapatkan masalah adalah cara penyelesaian yang tepat. Justru beban itu bisa memicu munculnya stres atau bahkan depresi.
Berpikir positif bisa jadi hanya menjadi tameng sesaat. Sementara persoalan dasarnya belum terselesaikan dengan tuntas.
Merasa "baik-baik saja" walaupun kondisi sebenarnya sedang "tidak baik-baik saja." Ini seperti sebuah pelarian diri.
Toxic positivity walaupun punya efek baik, sekali lagi perlu melihatnya secara komprehensif; lebih luas dan menyeluruh. Juga pada kasus-kasus tertentu, ia malah jadi tak berlaku. Jadi perlu untuk lebih 'cerdik' dalam bertindak.
Menumbuhkan perasaan positf seperti kegembiraan, harapan, semangat, inspirasi bagi setiap orang pada dasarnya baik. Tidak saja pada orang lain atau lingkungan; tapi juga pada diri sendiri. Hal ini tentunya bisa menjadi penyeimbang dari potensi dampak negatif dari masa-masa sulit ketika seseorang mengalami tekanan (mental dan sosial).
29 Juli 2021
Hendra Setiawan
*) Bacaan: Â Tirto, Â HelloSehat, Â Merdeka, Â KompasÂ
**) Â Sebelumnya: Â Dua Sisi Toxic Positivity (Bagian 1/2)
***) Tulisan lain (Artikel Utama):
Cegah Perundungan pada Anak dari Sekarang!
Pengalaman Ikut Vaksinasi Massal dan Upaya Meningkatkan Sisi Kesadaran Kemanusiaan
Niat Berbuat Baik, Ending-nya Malah Jadi Tidak Baik