Enam bulan lalu saya pernah menulis artikel tentang Pare (BACA LAGI) di kanal ini. Bahasa ilmiahnya Momordica Charantia. Hafalkan saja biar terlihat keren menyebutnya. Mirip dengan situasi sekarang yang lagi nge-trend: isolasi mandiri (isoman) alias karantina.
Jenis tanaman yang rasanya pahit ini ternyata masuk pada anggota keluarga dari mentimun (Cucurbitaceae). Namun begitu, khasiatnya pada kesehatan amat banyak.
Walaupun terlihat gampang tumbuhnya, namun kalau cara pengelolaan tidak tepat, dia juga gampang mati alias tidak bertumbuh.
Pare generasi pertama yang tumbuh di sela-sela pepohonan srikaya dan pandan di halaman depan rumah saya, awalnya tumbuh dengan subur. Buahnya besar-besar. tapi setelah beberapa kali musim panen, ukuran buahnya lebih mengecil. Mungkin saja kurang pemupukan lanjutan...
Nah, beberapa waktu ini, di sekitar area yang sama, beberapa kali mencoba menanam bibitnya, baik secara langsung ataupun melalui pembenihan, rasanya jadi sia-sia. Ia tidak bisa bertumbuh secara baik. Saya juga masih mencari tahu apa penyebabnya.
Mengatasi hal ini, saya berganti haluan. Mencari lahan lain yang bisa dimanfaatkan. Tapi karena sebagian halaman sudah dicor semen, jadi lokasinya disulap menjadi area tanam yang baru.
Apakah hasilnya sama dengan tanaman generasi pertama? Ya, begitulah... Bersyukur bisa tumbuh dengan baik. Tetapi memang secara kuantitas belum menyamai. Namun secara ukuran kualitas, hampir setara.
Caranya? Tentu saja dengan memilih bibit dari buah yang ukuran tumbuhnya besar dan memanjang. Tidak sembarang hasil bisa dipakai. Buah yang tanggung, kecil, bentuknya seperti huruf "C" tidak akan dipakai.
Â
Cara Tanam
Tidak susah menanam Pare. Ia tidak memerlukan lahan yang luas. Batangnya juga tidak keras. Seperti tomat, ia lunak (lebih keras sedikit). Ia sebenarnya juga tidak butuh paparan sinar matahari yang tinggi. Malah kalau demikian, daunnya jadi tak terlihat segar alias layu.
Kalau di sekitar tanaman Pare sudah ada dulu tumbuhan keras yang berdiri tegak, tinggal ikutan saja. Artinya tidak perlu membuat anjang-anjang atau kerangka baru sebagai media tempat ia bergerak tumbuh. Tapi kalau tidak ada, ya itu menjadi tugas baru bagi yang menanam, hehe...
Baiklah, sekarang bagaimana cara menanamnya?
1. Pembibitan
Menanam Pare bisa dilakukan dua cara. Pertama, menaman bijinya secara langsung di tempat yang disediakan. Kedua, melakukan pembenihan dulu pada sebuah wadah. Baru setelah tumbuh, dipindahkan ke tempat yang dipersiapkan.
2. Pengelolaan
Tidak banyak rewel, mungkin itu yang ada. Sepanjang saya bertanam Pare, tidak ada perlakuan khusus di dalamnya. Asal tidak kekurangan air yang menjadikannya layu, itu sudah cukup.
Pemupukan perlu beberapa kali. Tidak saja di awal tanam. Bisa diselang-seling antara pupuk cair atau pupuk buatan yang sudah jadi. Pupuk pabrikan banyak djual di pasaran. Memakai itu saja sudah cukup. Kebutuhan utamanya pupuk ada unsur N, P, K.
3. Perawatan
Sekali waktu, mungkin karena musim hujan, tanaman ini diserang sejenis cabuk yang biasa menyerang cabe (lombok). Hewan putih kecil. Biasanya ditandai dengan banyaknya semut mini yang mengeruminya. Ia berada pada sekitar pangkal utama merembet ke atas.
Cara mengendalikannya cukup pakai campuran air cuci piring saja. Bisa disemprot atau langsung saja dioleskan (dengan sarung tangan plastik) pada tempat hewan ini bersarang. Tindakan ini akan menyelamatkan tanaman Pare dari kerusakan.
Â
4. Panen
Pare bisa dipanen setelah 2-3 bulan dari masa tanam. Ia bisa terus mengeluarkan buah sepajang cabangnya tidak mengalami layu atau kering. Biarkan saja kalau warnanya hanya berubah menjadi coklat. Itu masih hidup.
Namun jika batang atau cabangnya sudah mengering, boleh dipotong, Dibiarkan pun sebenarnya tak mengapa. Hanya saja terlihat kumuh pemandangan.
Selamat mencoba dan memanfaatkan ruang terbatas. Good luck...
27 Juli 2021
Hendra Setiawan
*) Â Sebelumnya: Â Kiat Sukses Berkebun Hanyalah Soal Niat
*) Â Serial tulisan: Â Â Tanam Ketela Rambat (Ubi Jalar) di Lahan Terbatas
 Kisah Daun Pandan di Halaman Rumah (Bagian 1/2)  dan  Memanfaatkan Daun Pandan untuk Kesehatan (Bagian 2/2)
**) Â Artikel Utama:Â Ciplukan, Si Kecil yang Ternyata Mahal Harganya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H